Kegagalan Reformasi Lingkungan hidup Global
DENNIS SORON: Setelah pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992 yang akhirnya memasukkan penyebab reformasi lingkungan hidup global dalam agenda politiknya, banyak ahli lingkungan hidup jadi lebih optimis. Namun dengan kondisi lingkungan hidup yang semakin memburuk dan pemerintah menolak mengambil tindakan yang efektif, optimisme itu memudar. Bagaimana bisa harapan yang memuncak pada pertemuan di Rio jadi salah kaprah?
JOHN BELLAMY FOSTER: Optimisme tersebut jadi salah kaprah terutama disebabkan karena kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan tekanan ekonomi yang ditujukan kepada mereka atau mempertimbangkan fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan pesatnya ekspansi perdagangan neoliberal dan rejim investasi mengacuhkan pentingnya perbaikkan lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa pada saat pertemuan di Rio, negosiasi GATT sedang berlangsung pula di Uruguay Round. dari negosiasi-negosiasi tersebut lahirlah formasi WTO, organisasi yang mensentralisasi pengambilan keputusan ekonomi internasional dan mengisyaratkan bahwa regulasi-regulasi lingkungan hidup secara global akan ditentukan oleh dewan tersebut. Sama halnya dengan NAFTA, IMF, Bank Dunia, dan institusi-institusi neoliberal lainnya WTO telah menyatakan dengan jelas bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan utama mereka apapun harganya, kerusakkan sosial ataupun lingkungan hidup sekalipun.
perkembangan-perkembangan lain beberapa tahun terakhir ini menjadi puncak meningkatnya pesimisme komunitas lingkungan hidup—sebagai contoh, Amerika Serikat mengundurkan diri dari Protokol Kyoto, lalu administrasi Bush bersikeras (position) pada permasalahan seputar perbedaan biologis, bioteknologi, kontrol plasma bakteri, dan sebagainya. Walaupun Amerika Serikat diberbagai bidang telah mengambil keputusan secara sepihak, dia tidak sendirian mengindahkan pemanasan global dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya. Dinamika sistem ekonomi global mendikte dan menyebarkan keengganan pada seluruh dewan/pemerintah negara kapitalis untuk mengambil tindakkan efektif penyelamatan lingkungan hidup.
Pada Johannesburg summit—sepuluh tahun setelah Rio Earth Summit—semangat yang tercipta diantara kelompok-kelompok lingkungan hidup adalah kegamangan dan keyakinan bahwa negosiasi yang mereka lakukan tidak akan menghasilkan apapun, dan mereka memang tidak menacapai resolusi apapun. Betapapun mengecewakan hilangnya optimisme yang ada, pesimisme ternyata lebih masuk akal dalam menyikapi masalah yang sedang kita hadapi. Sebagai contoh, panel intergovernmental tentang perubahan iklim, baru-baru ini menyatakan bahwa perkiraan cuaca yang mereka buat terlalu konservatif, dan kemungkinan perubahan besar dalam dunia lingkungan hidup lebih besar dari yang diprediksi. semua tanda-tanda mengacu pada menggunungnya krisis lingkungan hidup, dan tindakan politik untuk mengatasinya tetap sedikit.
DS: Dalam apatisme politik seperti ini perlukah kelompok-kelompok lingkungan hidup menelaah ulang strategi-strategi mereka untuk mempromosikkan perubahan?
JBF: Saya rasa begitu. Seperti yang anda ketahui, akhir-akhir ini saya sedikit kritis terhadap strategi-strategi yang diadopsi oleh beberapa kelompok. kita ambil contoh International Forum on Globalization (Forum Internasional untuk membahas Globalisasi) dan beberapa organisasi serupa, yang sangat baik dan progresive dalam berbagai bidang. Walaupun demikian, dalam beberapa laporan terbaru mereka, kebijakan utama yg mereka tawarkan adalah “menghijaukan” Bank Dunia, WTO, dll—dan entah bagaimana caranya mengubah institusi-institusi tersebut menjadi lebih “hijau” dan ramah lingkungan. Sedangkan kontrol utama institusi-institusi tersebut adalah modal, dan tidak akan pernah berubah. Tujuan utama WTO, contohnya, adalah memperluas akumulasi modal bagi kepentingan negara-negara kaya dengan menyingkirkan penghalang mobilitas modal internasional, menghapus subsidi dan regulasi, dan pada dasarnya menerapkan kebijakan neoliberal keseluruh dunia. Sampai pada tahap ini, mustahil “menghijaukannya” atau merubahnya menjadi organisasi lingkungan hidup.
Untuk melangkah maju, kita tidak hanya harus lebih terorganisir tetapi juga lebih realistis terhadap kekuatan lawan, dan lebih terbuka mengusung isu ekonomi yang lebih luas tepat dipusat krisis lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup harus berhenti berpikir bahwa negosiasi dengan sekelompok elit akan melahirkan kompromi yang akan menyelamatkan lingkungan hidup. Sebab tujuan mereka adalah “sustainable development” mempertahankan pertumbuhan—yang berarti mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara kaya dan mempertahankan akumulasi modal. Institusi semacam ini tidak akan pernah berkompromi.
Ekologi melawan Kapitalisme.
DS:Tidak seperti para ekolog radikal, yang cenderung menggambarkan “modernitas” atau “industrialisasi” sebagai sumber pengrusakkan lingkungan hidup. Anda menekankan tentang pentingnya landasan teori ekologis dan praktek yang sistematis dalam mengkritik kapitalisme. Bisa anda jelaskan lebih detil?
JBF: Pertama-tama, fakta bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yang berlaku didunia yang kita tinggali ini tidak dapat dipungkiri, dan satu-satunya cara untuk lebih memahami dan memetakan sistem tersebut adalah dengan berpikir seperti seorang kapitalis. Sudah sejak dulu para ahli ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai spektrum politik setuju atas gagasan ini dan berbagi pemahaman dasar cara kerja sistem tersebut.
Tentu saja dalam lingkungan progresif, terus diperdebatkan pentingnya “memberi nama sistem” tersebut atau tidak.sebab terkadang terlihat terlalu radikal dan besar untuk mengklaim bahwa kapitalisme adalah satu-satunya momok dari masalah yang kita hadapi. Sebaliknya, organisasi-organisasi tidak sungkan menyebut “nama” kapitalisme. Majalah Fortune dan Business Week secara eksplisit memuja kapitalisme. Pendekatan apapun yang kita adopsi, masih ada sedikit keraguan sistem apa yang sebenarnya kita anut.
Dengan penghargaan terhadap “Industrialisme,” perlu dipahami kapitalisme merusak lingkungan hidup jauh sebelum adanya revolusi industri—sehingga masalahnya tidak bisa ditimpakan begitu saja pada metode produksi industri. “Modernitas” adalah kategori yang teramat sangat luas sehingga terkadang sangat sulit mendefinisikan arti sesungguhnya. Apapun itu, sebenarnya kita hanya akan banyak menghabiskan waktu membahasnya dan ini bukan cara yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah sistem sosial. Dia mungkin saja memberi metode bagaimana menjelaskan pola perkembangan historis karakteristik sistem sosial yang kita miliki, tetapi tidak mengarahkan kita pada apapun yang konkrit. Jika modernitas adalah cikal bakal kerusakan lingkungan hidup, maka masalah hanya akan timbul dalam masyarakat “modern”. Saya rasa terlalu gegabah untuk membuat kesimpulan semacam itu.
Menurut saya persoalan ekologis timbul sejak satu milenia, tetapi untuk memahami persoalan ekologis dalam satu kurun waktu tertentu perlu pemahaman akan sistem yang berlaku pada saat itu. Kapitalisme memang sangat merusak lingkungan hidup, tapi perlu diingat kapitalisme bukanlah satu-satunya sistem yang merusak. Sistem ala-Soviet juga melakukan pengrusakan lingkungan dengan cara dan alasan yang berbeda. Feodal dan masyarakat lainnya pada milenia sebelumnya juga sangat merusak lingkungan hidup. jadi dapat dikatakan meningkatnya krisis ekologis global menunjukan kerja keras kapitalisme. Jika anda mencari apa sumber asal kekuatan yang memicu krisis ini terlihat jelas sebab musababnya tidak dapat dipisahkan dari dinamika dasar kaptalisme global itu sendiri. Dulu dan sekarang kapitalisme tetap menuntut pertumbuhan ekonomi yang konstan dan cepat. Jadi pada dasarnya, dapat disimpulkan ekonomi kapitalis diharapkan menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 3% setiap tahun. Sehingga perekonomian dunia akan meningkat 16 kali dalam seabad, 250 kali dalam dua abad, dan meningkat 4000 kali dalam tiga abad. Ini memang hanya hitungan matematis tapi ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang begitu hebat tentu saja dalam konteks biospere tertentu akan mendatangkan masalah. Tentu, dalam skala sistem ekonomi global semakin berseberangan dengan proses biokemikal planet. jelas saja ini mendatangkan keraguan terhadap efektifitas dan kemampuan pendekatan lingkungan hidup yang tidak memperhitungkan pentingnya pertumbuhan kapitalis.
DS: Dalam konteks ekologi Marx, anda mengatakan hasil karya Marx sebagai sumber inspirasi pemikiran ekologis radikal kurang dihargai. Ini bukannya bertentangan dengan asumsi umum tentang Marx dan Marxis? Untuk sebagian pemikir “hijau”, Marx diklaim tidak punya sikap terhadap masalah lingkungan hidup, atau bahkan terang-terangan anti-ekologi melalui kepercayaan “promothen” nya tentang perkembangan ekonomi dan teknologi, hubungannya dengan orientasi tradisi pencerahan “kekuasaaan” alam, dan sebagainya.
JBF: Ya, saya memang menentang intrepretasi seperti yang anda sebutkan tentang Marx—dan mungkin hanya saya yang berpikir demikian. Berkat beberapa peneliti, telah didokumentasikan bahwa Marx menulis tentang krisis ekologis dan langkah-langkah penanggulangannya.pandangan Materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig ilmuwan tanah (soil) abad sembilan belas—yang jelas ter-refleksi melalui idenya tentang “metabolic rift” (jurang metabolis) yang timbul antara daerah pedesaan dan kota, dan dislokasi ekologis yang mengakibatkannya. Ide-ide seperti ini, seharusnya terus menjadi sumber analisis kritis problematika ekologis. Kegagalan memanfaatkan kontribusi Marx dimulai, perbidangnya; dari meningkatnya keberpihakkan hingga menganggap enteng nilai-nilai ekologis dan bentuk pemahaman yang sama fundamentalnya dengan kesempatan pemikiran ilmiah dan materialis. Saat ini, menjadi “ekologis” berarti melihat lingkungan hidup dengan cara yang lebih spiritualis dan idealis, dan (steering clear) sikap instrumental, reduktif, dan antagonistik terhadap alam yang ditampilkan dalam ilmu pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, menjadi seorang pecinta lingkungan hidup berarti menolak ide-ide “antroposentris” menanamkan kesadaran spiritual nilai-nilai yang dimiliki alam, dan bahkan mungkin saja menempatkan alam diatas manusia.
Berbeda dengan pernyataan diatas, ada tradisi lingkungan hidup yang lebih menggunakan prinsip-prinsip materialis dan sebenarnya melahirkan lebih banyak ilmu ekologi yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Tradisi ini dalam berbagai bidang telah memprediksi permasalahan ekologis lebih awal dan lebih substansial, dan—menurut saya—memberikan banyak kontrubusi bagi kita untuk mengatasinya sekarang ini. Terlebih lagi tidak begitu saja mengkotak-kotakkan anda sebagai antrophosentris atau ekosentris, pro-manusia atau pro-alam. Sebaliknya tradisi ini mengetahui bahwa inti masalahnya lebih mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dan alam, bagaimana kita mengatur hubungan kita dengan alam. Kita harus mengetahui kandungan instrinsik alami bumi dan tentu saja berusaha melindunginya. Tetapi kita juga perlu memahami bahwa kita tidak dapat memungkiri fakta kita telah merubah alam selama kita hidup dan bekerja dalam bumi ini. Sampai tahap ini, tujuan utama kita seharusnya adalah merubah alam tanpa merusaknya, membuat peraturan hubungan kita dengan alam.
Disinilah Marx sebenarnya menyajikan bagaimana mengatur hubungan kita dengan alam dan bagaimana lingkungan hidup berproses sebenarnya berkaitan dengan perkembangan hubungan masyarakat dan sosial. Sayangnya, para analis marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru, setidaknya tidak cukup lama, sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. Para anti-positifisme Marxisme Barat terkadang memanifestasikan diri dengan mengacuhkan atau memusuhi ilmu pengetahuan. Dilain pihak, “materialisme dialektik” yang berasal dari Unisoviet over-positif serta terlalu memuja dan memakai konsepsi ilmu pengetahuan yang salah. Disinilah analisis ekologis jadi salah kaprah, disatu sisi, ilmu pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang untuk manusia, disisi lain hermeneutis, adalah tradisi humanistik menolak ilmu pengetahuan.
Kita membutuhkan materialisme, yang lebih rasional, yang memandang permasalahan ekologis dengan imbang dan menggalang kepedulian untuk mengatasi krisis lingkungan serta kebutuhan mempertahankannya dilihat dari perspektif ekonomi. Sampai pada tahap ini Marx adalah salah seorang pemikir yang meletakkan prinsip-prinsip dasar materialisme tipe tersebut, saya rasa pemikirannya masih sangat penting bagi kita.
Tentang Moralitas Ekologis
DS: Anda jelas berhati-hati terhadap posisi idealistik lingkungan hidup yang berbasis pada pandangan “ekosentris”, semangat abad baru, dan sebagainya. Anda juga berpendapat krisis ekologi saat ini juga merupakan krisis nilai—yang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding yang lain. Berarti anda menyatakan kita membutuhkan “revolusi moral” dalam hubungan kita dengan alam, revolusi tidak hanya terhadap tindakan-tindakan dan keputusan tidak bertanggung jawab konsumen perorangan, politisi, dan para CEO, tetapi juga kepada “amoralitas tingkat tinggi” sistem kapitalisme itu sendiri. Bagaimana caranya kita mengaplikasikan kategori-kategori moral terhadap pelaksanaan sebuah sistem sosial? Apakah ini berarti menyepelekan tanggung jawab individu yang sekarang diteriakkan para ahli lingkungan hidup?
JBF: Memang agak sulit membicarakkan moralitas pada tahap ini, tetapi perlu dilakukan jika kita tidak ingin meletakkan kesalahan pada individu tertentu atas kerusakkan ekologi yang dipicu oleh sistem pasar para kapitalis. Saya mengutip istilah “amoralitas tingkat tinggi” dari C. Wright Mills, beliau juga menggunakannya untuk mengekspresikan kepedulian terhadap status moral struktur-struktur sosial yang membentuk dan membatasi pilihan dan tindakan seseorang.
seiring dengan berjalannya waktu kita terbiasa menerima prinsip-prinsip dasar moral tertentu mengenai perkembangan manusia—contohnya setiap orang tidak bebas dari tekanan dan kontrol, berhak mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing, berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut tentu saja terikat pada soal-soal perkembangan sosial yang lebih umum, yang berarti prinsip-prinsip dasar tersebut berevolusi seiring pergulatan manusia dan memiliki kondisi-kondisi sosial tertentu dalam prakteknya.
Jadi bagaimana kita melihat sebuah sistem sosial yang menghambat perkembangan manusia seperti ini? Bagaimana jika sistem tersebut, seperti yang kita miliki, sebenarnya membatasi kebebasan berkembang keseluruhan populasi dan dikuasai oleh segelintir orang? Bagaimana jika sistem tersebut hanya mengutamakan kepentingan para investor kaya, dan mengabaikan nasib seluruh populasi sekarang dan keturunannya? Buat saya, ini terlihat sebagai bentuk “amoralitas tingkat tinggi.”
Anak cucu kita, jika tidak punah, tentu tidak akan memuja orang yang merusak alam, tidak juga sistem yang memungkinkan terjadinya hal memalukan itu. Perlu kita sadari bahwa tanggung jawab moral kita pada anak cucu tidak hanya terletak ditangan perorangan, tetapi terkait pada keseluruhan struktur masyarakat dimana kita, sebagai individu, terlibat didalamnya.
Tentu saja kita bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi kita, yang perlu dipahami tindakan-tindakan tersebut terkadang bukan pilihan melainkan ditentukan dan diarahkan oleh struktur masyarakat tertentu yang kita anut. Marx, sebagai contoh, tidak menggambarkan para kapitalis sebagai orang baik, tetapi dia, mungkin melebihi kritikus sosial terkenal pada jamannya, berulang kali menyalahkan kelemahan kapilisame atas kerakusan dan kesalahan pelakunya. Marx menyadari ketika orang ditempatkan dalam kelas kapitalis, maka tidak salah jika dia melaksanakan aturan pasar dan berusaha mendapat untung besar atas barang dan investasinya. Masalahnya proses pasar berorientasi keuntungan ini secara sistematis berkecenderungan merampas hak orang lain dan merusak lingkungan hidup.
Setiap Institusi yang merusak alam dan mengakibatkan keturunan kita semakin kehilangan interaksi dengan alam masuk dalam kategori amoralitas tingkat tinggi. Marx menulis manusia tidak memiliki dunia, kita hanya menggunakan dan berkewajiban melestarikannya untuk anak cucu kita. Inilah sebagai dasar prinsip moral menggaris bawahi semua pertanyaan tentang ketahanan alam—landasan dasar universal bagi setiap masyarakat yang merasa keturunan kita berhak mendapat kesempatan yang sama.
Sedihnya, prinsip-prinsip dasar tersebut tidak berpengaruh banyak dalam masyarakat kita. Masyarakat yang dengan rakus terus menerus memanfaatkan alam milik anak cucu kita. Para peneliti meyakini pada akhir abad ini akan terjadi kepunahan sekitar 30-50 spesies mahluk hidup. Mereka menyebutnya sebagai “kepunahan keenam.” Kepunahan terakhir yang sebanding terjadi sekitar 65 juta tahun yang lalu, yaitu ketika dinosaurus mengalami kepunahan. Kita, manusia, melakukan ini terhadap bumi—tidak sebagai individu-individu, melainkan sebagai bagian dari sebuah sistem sosial yang membuat kita menjadi penghancur dan menilai segala hal berdasarkan akumulasi modal.
DS: Walaupun mengalami kemunduran politik dalam beberapa tahun ini, sebagian besar segmen masyarakat tetap menunjukkan kepedulian mereka terhadap permasalahan lingkungan hidup. Sayangnya, banyak sekali cara untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup—seperti bersepeda kekantor, mandi lebih cepat, menggunakan lampu hemat energi, daur ulang, kompos, dan lain sebagainya—tanpa menciptakan pilihan gaya hidup yang sadar lingkungan. Bagaimana gerakan lingkungan hidup mulai menghubungkan ekspresi-epspresi kesadaran dan tanggung jawab ekologi seperti tersebut diatas kearah yang lebih transformatif?
JBF: tentu saja dibutuhkan organisasi politik yang lebih tinggi tingkatannya dan kemauan besar untuk menohok langsung kepusat masalah sebenarnya. Gerakan lingkungan hidup harus menyadari bahwa musuh utama mereka berada pada struktur kekuasaaan masyarakat kapilatis. Intinya, mencapai kestabilan lingkungan hidup berarti merubah struktur kekuasan masyarakat kapilatis, bukan memperbaiki kerusakan kecil yang dihasilkannya.
Saya akan berikan contohnya. Kita sering diberitahu, agar sadar lingkungan, untuk secara sadar memilih tidak mengendarai mobil, dan sebaliknya lebih memilih berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menggunakan kendaraan umum. Padahal bagi sebagian orang pilihan-pilihan tersebut tidak masuk akal. Jalan-jalan, pekerjaan dan keseluruhan infrastruktur urban yang ada tidak memungkinkan kita melakukan kegiatan sehari-hari dengan bersepeda atau berjalan kaki, serta banyaknya tempat yang tidak terjangkau kendaraan umum. Dengan keadaan seperti ini, mengaharapkan manusia membuat pilihan pribadi yang sadar lingkungan saja sangat tidak memadai. Kita perlu terorganisir secara politis untuk menciptakan struktur-struktur sosial—transportasi umum, sistem kereta dalam kota, jam kerja yang fleksible, perencanaan kota dan pengembangan lahan yang baru, dan lain sebagainya—yang memungkinkan manusia benar-benar dapat melakukan pilihan-pilihan tersebut.
Hal ini juga berlaku pada berbagai permasalahan lain. Anda bisa saja menyuruh seseorang untuk “belanja hijau” (belanja produk ramah lingkungan¬), tetapi tidak banyak faktor penunjang yang memungkinkannya. Tidak ada label pada produk yang membedakan produk “hijau” dari produk lainnya di rak-rak supermarket; atau bahkan produk-produk ramah lingkungan tersebut malah tidak tersedia sama sekali, atau terlalu mahal sehingga tidak terjangkau. Intinya, semua ini permasalahan politik, yang berpusat pada struktur kekuasaan yang perlu diambil alih sebelum kita dapat membuat pilihan –pilihan yang ramah lingkungan.
Melihat Kedepan
DS: Dalam sebuah artikel yang awalnya diterbitkan dalam Monthly Review dan kemudian menjadi salah satu bab dalam buku anda yang berjudul Ecology Against Kapitalisme (Ekologi Melawan Kapitalisme), anda menuliskan tentang “the limits of environmentalism without class” (keterbatasan lingkungan-hidup-isme tanpa kelas). Menurut anda mengapa gerakan lingkungan hidup yang ada sekarang perlu melirik persoalan kelas sosial?
JBF: Tulisan tersebut saya tulis awal tahun 1990an pada saat krisis burung hantu berbintik di hutan tua, barat-laut pasifik. Pada masa itu, strategi kebanyakan organisasi lingkungan hidup berpengaruh adalah menggunakan pendekatan yang sempit dan tunggal terhadap konflik. Pada dasarnya, mereka memihak alam—satu-satunya perhatian mereka tertuju pada melindungi hutan tua, dan sama sekali bukan tanggung jawab mereka untuk mengurusi penyebab kerusakan hutan seperti pekerja hutan atau kondisi ekonomi komunitas para pekerja. Saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang yang bertugas mengadakan lobi dengan Washington DC tentang permasalahan ini, dan dia dengan gamblang menjelaskan pandangan organisasinya, mempertimbangkan kondisi para pekerja hanya akan melemahkan posisi mereka. Baginya, kerja aktifis lingkungan hidup hanyalah melindungi hutan.
Kekurangan strategi ini adalah anda memaksa para pekerja yang sebenarnya punya kepedulian melestarikan alam, tetapi masih berkepentingan mempertahankan hidup dan pekerjaannya, memihak manajemen dan mengadopsi bentuk industri yang merusak ekologi. Pada kasus krisis burung hantu berbintik, para pekerja—walaupun sebenarnya bermasalah dengan perusahaan-perusahaan kayu tempat mereka bekerja mengenai soal gaji dan persoalan buruh lainnya—tidak punya pilihan selain memihak perusahaan. Mereka melihat kerja para aktifis mengancam pekerjaan mereka. Dalam konteks ini “gerakan bijak” di barat berhasil mengeksploitasi dan meng-“kipas”-i kekhawatiran para pekerja, walaupun mereka dibiayai oleh kapital dan tujuan utamanya memperlancar jalannya modal. Aliansi politik antara pekerja dan industri inilah penyebab utama proses perumusan kebijakan lingkungan hidup mendapat banyak perlawanan di Barat.
Yang ingin saya sampaikan disini jika aktivis lingkungan hidup hanya menggunakan satu sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan, mereka dengan sengaja menyerahkan para pekerja ke tangan pemodal. Agar strategi mereka efektif secara politik dan menyentuh permasalahan dasar, mereka harus menghadapi persoalan kelas sosial. Dalam masyarakat kapitalis yang sebagian besar penghuninya adalah kelas pekerja, gerakan lingkungan hidup tidak akan kemana-mana jika orentasi mereka berputar pada kelas menengah atas keatas, atau begitu saja menisbikan kelas sosial dan menyerahkan nasib para pekerja ditangan pasar. Gerakan lingkungan hidup sebaiknya tidak hanya memberikan pilihan antara melestarikan alam atau mempertahankan pekerjaan bagi para pekerja. Sebaliknya, membuat program politik yang memenuhi kebutuhan sosial dan material para pekerja yang juga ramah lingkungan. Dengan terbangunnya strategi politik pekerja-aktivis lingkungan hidup maka perubahan yang sejati akan terwujud.
DS: Dalam buku anda The Vulnerable Planet, anda menuliskan tentang “the socialization of nature” (pen-sosialisaian alam)—tujuan politis yang sampai pada tahap tertentu terlihat seperti sandiwara sederhana tentang tujuan tradisional kaum kiri mensosialkan ekonomi. Untuk sebagian ahli lingkungan hidup, sama saja dengan mengurangi kewaspadaan, dan dapat diartikan melanggengkan subordinasi alam atas kebutuhan sosial manusia. Bisakah anda menjelaskan istilah anda tersebut lebih detil?
JBF: kekuatan dominan yang berkuasa sekarang ini mengarah pada yang kita sebut sebagai privatisasi alam. Perekonomian global sekarang ini terus merubah kekayaan alam sebagai komoditas privat yang dapat dibeli dan dijual di pasar—air, hutan, spesies tanaman, dan bahkan (dengan meningkatnya polusi) atmosfir. Kecenderungan privatisasi alam sangat merusak, dan memicu permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang selama ini kita perdebatkan adalah masalah endemik kapitalisme.
Pen-sosialisasian alam tidak demikian. Menurut pandangan saya, semakin kita menempatkan alam dalam perlindungan manusia melalui proses demokratik yang menentukan aturan ketahanan alam, keadaan akan membaik. Jika kita memandang kekayaan alam sebagai kapital, kita membiarkan kontrol dan eksploitasi alam berada ditangan perseorangan yang dapat merusak ketahanan alam.
Sebagai contoh, ketika kita merubah sebagian hutan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebab area tersebut milik pribadi. Hutan-hutan kita memang dalam kondisi rusak parah sekarang ini, tetapi bila dibandingkan dengan hutan pribadi, kondisinya jauh lebih baik. Jika anda melihat lahan-lahan milik perseorangan diwilayah Northwest (barat laut) Pasifik, anda akan menemui bahwa semua pepohonan yang cukup tua telah dibabat habis dan diganti dengan pepohonan muda yang akan sesegera mungkin dipanen (dipotong). Bentuk produksi dan panen ini merupakan industri dan sama sekali tidak memperdulikan pelestarian integritas hutan atau kesehatan ekosistem. Satu-satunya alasan kita masih memiliki hutan adalah karena hutan tersebut adalah hutan lindung yang dilindungi pemerintah, dan hutan itu tersebut telah disosialisasikan.
Sekarang ini, para advokat privatisasi sangat menghakimi negara, cenderung menghubungkan setiap bentuk “sosialisasi” dengan totalitarianisme ala-Soviet, statisme, dan lain sebagainya. Mereka cenderung melupakan bahwa negara memiliki berbagai wujud—walaupun, demokrasi itu sendiri tidak akan ada tanpa negara. Ketika segala sesuatu dibumi menjadi milik pribadi, maka daerah kepentingan demokratik publik akan menghilang, dan anda akan dikelilingi aktor-aktor privat yang dengan egoisnya mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Dalam meriahnya era privatisasi dan deregulasi ini, terkadang kita lupa bahwa banyak kebutuhan dasar yang kita nikmati—dari setetes air, hingga listrik, sanitasi, taman-taman, dan lain sebagainya—tidak disediakan oleh bisnis, melainkan oleh agen-agen publik untuk memenuhi permintaan demokratik. Seperti halnya, perlindungan lingkungan hidup paling mendasar yang kita miliki sekarang ini dihasilkan dan diimplementasikan oleh badan-badan publik demokratik, yang dengan berat hati diberi sedikit ruang oleh kelas para kapitalis.
Jika semua hal dimuka bumi diprivatisasi, maka sebagian besar populasi manusia akan kehilangan kemampuan untuk melindungi alam atau bahkan diri sendiri atas kehendak kaum minoritas penguasa yang memiliki dan menguasai sebagian besar sumber-sumber daya sosial. Kebalikannya, jika bumi menjadi milik dan memenuhi kepentingan publik, maka kita meletakkan alam dalam sebuah kontrol politik yang memberlakukan prinsip-prinsip demokratik. Berdasarkan pemahaman inilah pen-sosialisasian alam merepresentasikan strategi demokratik dan anti-kapitalis, yang berhubungan dengan sosialisme. Sosialisme mendukung pelaksanaan penuh kontrol publik demokratik, meyakini bahwa mayoritas masyarakat biasa berhak menentukan pemanfaatan sumber-sumber daya kolektif. Saya rasa, kita seharusnya melangkah kesana jika ingin merubah hubungan kita dengan alam dan meraih ketahanan alam yang sejati.
Wawancara ini dilakukan melalui telephon pada bulan Januari Tahun 2004. diterbitkan bulan Agustus 2004 pada Aurora Online—Interviews with Leading Thinkers and Writers (wawancara dengan para pemikir dan penulis terkemuka), htttp://aurora.icaap.org. tulisan yang tersaji ini telah mengalami sedikit modifikasi.
WAWANCARA ANTARA DENNIS SORON DENGAN JOHN BELLAMY FOSTER
Dennis Sorron adalah peneliti Neoliberal Globalism and Its Challengers Project (globalisme neoliberal dan proyek-proyek tandingannya) di Universitas Alberta. Dimana dia mengajar sebaga
Selengkapnya...
Selasa, 18 November 2008
EKOLOGI, KAPITALISME, DAN PEN-SOSIALISASIAN ALAM
Jumat, 14 November 2008
- Pertanian Sebagai Komoditas -
TINJAUAN SEJARAH MENGUATNYA KEMBALI LIBERALISME DALAM SISTEM EKONOMI-POLITIK DUNIA
Sebaiknya, kita telusuri juga sejarah bagaimana sistim ekonomi-politik liberal dunia mencoba mengatasi krisis dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, agar bisa dimengerti mengapa sampai pada kesimpulan : NEOLIBERALISME MERUPAKAN JALAN KELUAR SISTIM EKONOMI-POLITIK LIBERAL , yang hasilnya adalah krisis dan ekses-ekses juga.
I. MENGAPA KEMBALI PADA LIBERALISME?
Tak seperti situasi sekarang, pada akhir 1920-an, kelimpahan kapasitas produksi di segala bidang (structural overcapacity) dan pasar finansial yang (walaupun) diawasi dengan ketat telah menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Tak seperti sekarang juga, saat itu krisis diatasi dengan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju permintaan kredit konsumsi—yang dianggap akan meningkatkan harga-harga inflatory barang dan jasa. Namun, pada tahun 1929, stock-market mengalami kehancuran, harganya mengalami penurunan gila-gilaan, mengakibatkan banyak investor dan kreditor bangkrut, serta investasi produksi menurun secara dramatik. Bank sentral Amerika (US Federal Reserve) tak bisa lagi mempertahankan sistim perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri maju yang saling bersaing semakin meningkatkan penjagaan proteksionisnya. Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang. Krisis sosial politik (potensial) siap meledak, yang bukan saja akan melanda Amerika namun juga berpengaruh secara global.
Untuk menghindari ledakan krisis sosial politik itu, Presiden Franklin D. Roosevelt mendorong pemerintahannya campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi, yakni dengan memusatkan perhatiannya pada penyediaan lapangan kerja secara besar-besaran (massive). Pada musim dingin 1933-34 saja sudah 4 juta orang bisa diberikan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum dengan basis legitimasi fiskal (anggaran belanja defisit) dan juridis (UU Jaminan Sosial/Social Security Act of 1935). Roosevelt’s New Deal tersebut tak lain merupakan pengakuan: bahwa dalam babak (sejarah) dominasi perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal keuangan, ekonomi liberal membutuhkan intervensi negara karena bila tanpa itu, atau bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka sistim itu akan runtuh. Hanya negara yang sanggup memperpanjang hidup liberalisme.
Perbaikan atau jalan keluar bagi ekonomi Amerika—bisa menyelesaikan depresi ekonomi seperti, misalnya saja, pengangguran bisa ditekan menjadi 4,5 juta (dari 13 juta orang)—hanya berlangsung selama 2 tahun saja (1936-1937), karena pada bulan Maret, 1938, pengangguran meningkat lagi menjadi 11 juta orang, dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II. Cara Keynesian di atas hanya lah akan mendorong inflasi harga barang dan jasa bila para investor, yang menguasai bisnis, tak bisa MEMPERLUAS PASAR bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan, itu lah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian, sebenarnya, memiliki keterbatasan. Hanya atas dorongan pemerintah lah—melalui anggaran defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai PD II—pengangguran bisa diatasi. Hanya perang atau persiapan perang saja yang ternyata bisa memperluas pasar—melalui pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah.
Persis, seperti yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment, Interest and Money
“Perang telah menjadi satu-satunya bentuk pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus disetujui, diabsyahkan, oleh para negarawan.”
Jadi, adalah MITOS menyimpulkan bahwa adopsi kebijakan Keynesian lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an. Karena, sebenarnya, restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi produksi) lah yang menyelamatkannya, yakni melalui: 1) rendahnya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an); 2) hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara massive; 3) anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak awal 1940-an.
Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, maka seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi—terutama penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomasi proses produksi, yang dapat lebih melimpahkan hasil produksi. Revolusi teknologi itu menyebabkan berlipatgandanya keuntungan (profit) karena bisa menghemat ongkos produksi, yang memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah dengan konsumen yang lebih besar. Lagi-lagi, anggaran belanja defisit negara pada massa Perang Dunia II dan Perang Dingin lahyang disalurkan untuk penelitian dan pengembangan (research and development) serta perbaikan/peningkatan teknis (technical improvements)yang mendorong meningkatnya penemuan-penemuan teknologis (technological innovations) pada paruh kedua abad ke-20. Di atas basis penemuan-penemuan teknologi itu lah impian para investor diletakkan: bisa menggunakan segala cara untuk memaksakan perluasan pasar, menekan biaya tenaga kerja dan pengerukan sumberdaya global—semuanya itu sering dihaluskatakan (euphemism) menjadi “globalisasi”.
Faktanya, pada tahun 1870, rata-rata pendapatan per kapita negeri-negeri kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita negeri-negeri miskin, pada tahun 1965 meningkat menjadi 38 kali, dan pada tahun 1985 menjadi 58 kali.
II. PERTANIAN SEBAGAI KOMODITAS.
II. 1. Relasi Negara Utara – Negara Selatan
Pada dasawarsa 70-an dan 80-an, wajah ekonomi dunia berubah. Di negara-negara Utara pertumbuhan ekonomi berjalan lambat dan bergerak ke arah resesi ekonomi. Keadaan ekonomi dipersulit karena pengambil-alihan perusahaan-perusahaan besar di negara-negara Utara oleh negara-negara Selatan, terutama dalam hal ini oleh perusahaan-perusahaan besar Jepang; mengalirnya imigran dari Selatan yang mengancam lapangan kerja domestik negara-negara Utara; peningkatan yang begitu cepat sumbangan bidang jasa dalam output domestik; dan pembangunan sistem pabrik global oleh TNCs. Semuanya ini mendorong negara-negara Utara untuk berusaha meninjau kembali mekanisme, proses dan hubungan-hubungan perdagangan internasional yang sedang berlaku.
Sejak lama sebenarnya negara-negara Selatan sudah mengambil inisiatif untuk meninjau kembali hubungan-hubungan perdagangan internasional, namun dengan tujuan yang berbeda. Pada tahun 1970-an negara-negara Selatan membentuk Kelompok 77 di bawah United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan berusaha menyusun suatu Tata Ekonomi Internasional Baru (NIEO) untuk merestruktur apa yang dipandang sebagai hubungan perdagangan “pusat – pinggiran” atau hubungan ketergantungan antara Utara dan Selatan.
Tanggapan dari Utara tidak menggembirakan dan sebagai tandingannya negara-negara Utara menggunakan IMF dan Bank Dunia untuk menerapkan Struktural Adjustment Programs (SAPs) di negara-negara yang dibebani utang. Inti dari SAP adalah liberalisasi perdagangan, deregulasi dan privatisasi yang merupakan resep dari negara-negara Utara untuk secara perlahan mengintegrasikan Selatan ke dalam sistem perdagangan internasional. Jadi Bank Dunia dan IMF telah dijadikan sebagai kendaraan utama dari negara-negara Utara untuk melakukan reformasi struktural dalam perdagangan global. Karena itu harus dipahami dengan saksama dan disadari dengan kritis bahwa proses restrukturisasi ekonomi, khususnya perdagangan (yang secara domestik di Indonesia dikenal dengan gerakan reformasi ekonomi) tidak didorong oleh tuntutan dari Selatan – yang semula berusaha membangun NIEO melalui UNCTAD – melainkan oleh agenda ekonomi dan politik dari Utara.
Dengan demikian apa tujuan dari perdagangan bebas (melalui reformasi ekonomi) dan apa pengaruhnya bagi Indonesia masa depan? Apa yang harus dipersiapkan untuk para petani dan institusi ekonomi pertanian yang akan dikenai dampak langsung oleh restrukturisasi perdagangan dunia tersebut?
II. 2. Pasar Bebas atau Pasar yang Dikendalikan?
Sejak pertengahan 1980-an, pasar bebas menjadi tema hangat dan semua negara maju bersatu untuk mendorong berkembangnya pasar yang bebas ini dengan berbagai program bantuan ke Dunia Ketiga, dengan pelaksana utama IMF dan Bank Dunia. Program penyesuaian struktural (SAPs) merupakan kebijakan utama untuk memacu liberalisasi pasar ini. Secara umum negara-negara sedang berkembang pun mulai bergerak dari proteksi yang kokoh dan dianggap destruktif menuju perdagangan atau pasar yang lebih bebas.
Pergeseran ini terutama disebabkan oleh empat hal berikut:
Anti-statisme. Jika sebelumnya peranan negara sangat dominan dalam ekonomi dan dipandang sebagai suatu keniscayaan demi pertumbuhan ekonomi, pada awal 1980-an campur tangan pemerintah ini dikritik sebagai sumber dari kemandegan ekonomi. Proteksi merupakan manifestasi dari peranan negara yang intrusif. Dalam kenyataannya memang negara telah menjadi kekuatan predator yang menghabiskan sumberdaya produktifnya untuk kegiatan-kegiatan yang secara strategis tidak produktif.
Kinerja ekonomi yang rendah. Banyak negara sedang berkembang mengalami kinerja ekonomi yang lamban dan potensi produksinya menurun. Kebanyakan sumbernya disebabkan oleh kebijakan-kebijakan makroekonomik yang populis yang menghasilkan krisis utang dan hiperinflasi. Meskipun ada juga penyebab lain yakni lingkungan eksternal yang sangat tidak mendukung. Namun sejak berakhirnya masa kredit yang melimpah, perhatian harus diarahkan kepada pencapaian produktivitas sebagai sumber pertumbuhan. Perdagangan bebas dianggap menjadi bagian dari solusinya.
Informasi. Masing-masing warga negara terbuka kepada lebih banyak informasi tentang barang yang ada di negara-negara lain. Penyebaran informasi yang luas ini membuka wawasan orang untuk melihat peluang-peluang baru dan mendorong warga negara untuk membongkar jerat-jerat proteksi negara.
Tekanan Bank Dunia dan bukti keberhasilan. Ternyata terdapat banyak masalah dengan strategi perdagangan yang inward-looking dan banyak juga pelajaran yang dapat dipetik dari strategi-strategi perdagangan yang outward-looking. Kinerja yang baik dari negara-negara yang mengambil kebijakan-kebijakan yang outward-oriented mendorong Bank Dunia untuk mengambil liberalisasi perdagangan sebagai syarat pinjaman.
Memang, dari tahun 1930-an banyak negara mengambil strategi proteksi terhadap ekonominya masing-masing. Kebijakan industrialisasi yang diproteksi dengan tariff dan kwota impor diambil sebagai suatu strategi pembangunan dengan maksud untuk menumpuk devisa untuk pembayaran utang. Strategi ini berasumsi bahwa negara-negara produser komoditas primer mengalami penurunan terms of trade; pertumbuhan permintaan akan komoditas primer kecil karena elastisitas permintaan terhadap komoditas tersebut rendah dan substitusi terhadap bahan-bahan alternatif. Sementara di pihak lain, tingginya tingkat kemajuan teknis di sisi penawaran menciptakan suatu situasi kelebihan penawaran dan menurunnya harga relatif.
Proteksionisme mendapat dukungan kuat dan hendak dipertahankan terus oleh negara-negara Selatan, yang terutama dipelopori oleh Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin (ECLA). ECLA memandang bahwa negara-negara sedang berkembang harus mencari strategi industrialisasi impor, atau yang dikenal dengan import substitution industrialization (ISI), untuk menghindari memburuknya secara drastis tersm of trade negara-negara tersebut. ISI berarti bahwa pembangunan industri domestik dilaksanakan di bawah hambatan-hambatan proteksi yang mencakup tariff, kwota dan lisensi. Pandangan ECLA ini kemudian pada 1960-an menguat dengan dibentuknya UNCTAD, yang merupakan forum di mana para intelektual Dunia Ketiga membentuk dan mengkaji pandangan-pandangannya mengenai perdagangan dan strategi pembangunan.
Namun, pada akhir 1970-an dan 1980-an proteksi di negara-negara sedang berkembang melunak. Banyak negara mengakui bahwa proteksi dengan tariff dan kwota tidak hanya menghambat impor, tetapi juga menyebabkan menurunnya permintaan akan devisa yang juga menyebabkan apresiasi mata uang dan kemudian pajak yang ketat pada ekspor baik untuk komoditi-komoditi tradisional maupun barang-barang industri yang baru berkembang. Ditambah lagi dengan desakan dari negara-negara Utara melalui IMF dan Bank Dunia, maka dimulailah suatu era baru dalam perdagangan global, yang disebut perdagangan bebas.
Secara singkat dan umum, pasar bebas adalah suatu pasar tanpa intervensi negara .
Anne O. Krueger mendefinisikan liberalisasi sebagai
“Setiap tindakan kebijakan yang mengurangi ketatnya kontrol – baik dengan cara penghapusan kontrol tersebut secara lengkap atau pun dengan cara penggantian kontrol yang ketat dengan kontrol yang kurang ketat”.
Namun definisi pasar bebas dan liberalisasi ini mengandung banyak kontradiksi.
Karena itu jika kita ingin menentukan apakah suatu pasar itu bebas atau tidak, perlu dipahami institusi-institusi yang mendasarinya yang mendefinisikan struktur hak dan kewajiban bagi para partisipan di dalam suatu pasar tertentu. Institusi-institusi yang perlu dipahami dalam konteks ini mencakup:
(1) aturan-aturan formal dan informal yang mengatur cara di mana kepentingan-kepentingan diorganisasikan dan dilaksanakan (eg. Aturan-aturan tentang asosiasi politik, aturan-aturan tentang inkorporasi, aturan-aturan tentang lobby);
(2) ideologi-ideologi formal dan informal yang berkaitan dengan pandangan seperti “fairness” dan “hak-hak alamiah” yang ada di dalam masyarakat (eg. Hak-hak bagi setiap orang akan pemilikan pribadi, hak-hak bagi anak-anak akan pendidikan);
(3) institusi-institusi formal dan informal yang menentukan bagaimana struktur hak dan kewajiban dapat diubah (eg. Prosedur-prosedur bagi perubahan-perubahan legal, kebiasaan-kebiasaan sosial tentang kapan dan bagaimana beberapa hak/kewajiban de facto bisa menjadi “legitimate”, kalau bukan harus dilegalkan).
Jadi sebenarnya definisi pasar bebas itu sebenarnya tidak terlalu jelas karena semua pasar memiliki beberapa aturan negara mengenai siapa yang bisa berpartisipasi di dalam pasar tertentu dan dalam hal seperti apa.
Dalam kaitan dengan perdagangan dan ekonomi global, kita akan bisa lihat dengan jelas bahwa sebenarnya nuansa bebas dari pasar atau perdagangan bebas itu sebenarnya hampir tidak nyata. Apa yang disebut sebagai liberalisasi pasar atau pasar bebas sebenarnya suatu pengaturan pasar oleh kekuatan-kekuatan ekonomi global, yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs), yang dewasa ini dikendalikan melalui WTO.
II. 3. Dominasi Negara maju Melahirkan Krisis Negara Berkembang
Dari jumlah tenaga kerja global sebanyak 2,5 milyar orang, 59%-nya sekarang berada di tempat yang oleh Bank Dunia digolongkan sebagai “negeri-negeri dengan upah murah”, 27%-nya berada di “negeri-negeri dengan upah menengah”, dan hanya 15%-nya yang tinggal di “negeri-negeri dengan upah mahal”.
Wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico, “selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat!”; fakta mengatakan bahwa daya beli upah pekerja non-supervisory, bahkan di AS, telah jatuh sejak tahun 1973 sampai pada level tahun 1950-an; rata-rata upah riil di Mexico jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an; dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico kini lebih rendah dibanding sebelum PD II; bahkan, di negeri-negeri maju, pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata 8%—perbaikan dengan dinamisme besar-besaran pada tahun 1994, dalam 18 bulan menguap lagi. Pada periode tersebut, menurut laporan resmi, semenjak akhir resesi, pengangguran di negeri-negeri maju hanya menurun menjadi 7,8%.
Meksiko, justru semakin parah perekonomiannya ketika menerapkan kebijakan neoliberalisme seperti yang “dikomandoi” oleh IMF. Meksiko dan beberapa negeri Amerika Latin lainnya merupakan tumbal dari krisis tersebut; seperti juga Mozambique di Afrika; Filipina, Thailand dan Indonesia di Asia. Dalam periode krisis di awal tahun 1990-an, Meksiko selalu berada dalam daftar 5 besar negeri pengutang. Akan tetapi, yang penting diperhatikan adalah perkembangan ekonomi Meksiko saat itu menunjukan kemunduran yang tajam, dengan tingkat inflasi hingga 200%. Sadar atau tidak, banyak industri di Meksiko mengalami kebangkrutan karena tingkat daya beli rakyat yang rendah, sedangkan biaya hidup sangat tinggi. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah Meksiko, yang saat itu dipimpin oleh Carlos Salinas? Apakah yang dilakukan massa-rakyat dengan kondisi perekonomian yang semakin menekan kehidupannya?
Berbagai usaha yang dilakukan oleh presiden Salinas tak jauh dari perkiraan banyak kalangan: kembali mengemis bantuan IMF dan WB, dan tak mampu merumuskan kebijakan baru yang lebih mampu melindungi kemakmuran rakyat. Kebijakan ekonomi Meksiko, dengan seluruh kemampuan masyarakatnya untuk berproduksi, dikembangkan dengan basis hutang luar negeri, dengan persyaratan yang kental dengan tuntutan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Akan tetapi, kemunduran itu tidak saja ditandai dengan “kemampuannya” untuk menjual perusahaan-perusahaan negara, melainkan juga menjual semua asset perusahaan negara, yang dipertukarkan dengan berbagai macam penanaman modal asing dan hutang luar negeri. Agar para investor AS, Eropa dan Jepang mau menanamkan investasinya di Meksiko, maka diberikan lah kemudahan-kemudahan seperti penurunan tarif pajak impor, dan pendekatan ke Konfederasi Pekerja Meksiko agar tidak melancarkan tuntutan kenaikan upah. Kalau pun masih terdapat banyak halangan terhadap penanaman modal asing, akan lebih banyak kemudahan lain yang ditawarkan seperti, misalnya, dukungan terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam/agraria dan dan sumber daya manusia di Meksiko.
Dengan adanya liberalisasi perdagangan dan privatisasi perusahaan negara, tingkat kehidupan masyarakat menjadi anjlog hingga mencapai angka di bawah standar normal. Malah, yang lebih mengenaskan, kemampuan produktif masyarakat yang selama sebelum periode liberalisasi perdagangan berada pada tingkat 32% di atas rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) negeri sedang berkembang, seketika menjadi menurun sampai di bawah batas rata-rata setelah dipaksa bersaing dengan investor asing. Dengan kondisi demikian, tidak lah mengherankan jika kemampuan masyarakat untuk membeli bahan-bahan pangan merosot jauh. Akhirnya, dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan rakyat Meksiko mengalami degradasi luar biasa.
Pada tahun 1997, setelah terjadi pergantian presiden dari Carlos Salinas ke Ernesto Zedillo, pemerintahan Meksiko mengumumkan bahwa pemerintah sudah berhasil membayar hutang-hutang luar negerinya, khususnya kepada AS. Akan tetapi itu bukan lah sebuah keberhasilan. Seperti yang dikatakan oleh menteri keuangan Meksiko bahwa pembayaran hutang tersebut dilakukan dengan penjualan semua asset negara (dalam bentuk surat obligasi) kepada para pemilik modal di Eropa.
Bukan kah tepat bila analogi dampak-dampak neoliberalisme seperti ini: “Apa yang ditawarkan adalah mengubah dunia menjadi satu mall-besar, di mana mereka bisa membeli Indian di sini, membeli wanita di sana …anak-anak, imigran, kaum pekerja, bahkan sebuah negeri seperti Meksiko.”
Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani Ditengah Serangan Imperialisme
Kelemahan Tenaga Produktif Dalam Pertanian di Indonesia
1. Pemilikan tanah skala kecil
Hal ini adalah realitas yang nyata. Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri (petani berlahan sempit lainnya) yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya.
Tabel. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura
Tahun Sensus Pertanian Jumlah Petani di Jawa dan Madura Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha)
1963 7,95 Juta 0,71
1973 8,27 Juta 0,60
1983 10,27 Juta 0,30
Sumber : Prof. Sediono M.P Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, Hal.13
Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya. Tapi kesejahteraan yang meningkat itu akan melalui cara seperti apa? Lalu tanah yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani dari mana? Tak bisa lain dalam sistem kapitalisme bahwa perluasan lahan akan membutuhkan tenaga kerja/buruh. Apakah peningkatan kesejahteraan ini melalui eksploitasi tenaga kerja/buruh ini yang akan menjadi tujuan dari perjuangan kaum tani? Dimana perbedaannya dengan pengusaha perkebunan yang menindas kesejahteraan buruh-buruhnya. Ini satu soal. Lalu tanah yang mana yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani untuk memperluas kepemilikan lahannya? Di pulau Jawa yang menjadi konsentrasi terbesar dari petani berlahan sempit jelas kesulitan untuk menambah perluasaan lahan kecuali melalui program transmigrasi. Namun pola transimigrasi model Orde Baru yang hingga saat ini tidak terlalu mengamali perubahan, dimana kaum tani dipindahkan ke luar Jawa dan diberikan lahan seluas 2 hektar, dengan dukungan infrastruktur yang tidak memadai jelas bukan menyelesaikan masalah,a namun justru menambaha penderiataan kaum tani. Sangat seirng kita mendengar nasib para trnsmigran yang ditelantarkan. Bandingkan dengan pola transmigrasi di Malaysia, transmigrannya diberikan lahans eluas 10 hektar dan dibantu akses kredit murah, yang kewajiban membayarnya baru dicicil ketika sudah mulai berproduksi –inilah tulang punggung keunggulan industri perkebunan di Malaysia jika dibandingkan dnegan perkebunan rakyat di Indonesia. Yang diluar Jawa masih mungkin dengan pembukaan hutan. Namun situasi umum yang terjadi diluar Jawa adalah luas tanah yang melimpah ini gagal diolah secara produktif sehingga tanah-tanah adat atau pembukaan hutan gagal menghasilkan struktur produksi pertanian yang kuat dan modern, --kecuali perkebunan-perkebunan yang dikelola secara modern baik BUMN maupun swasta—tanpa bantuan modal dan teknologi.
Persoalan sempitnya lahan yang dimiliki mayoritas kaum tani harus dilihat secara lain. Pada tahun 1930, 60% dari penduduk AS adalah petani berlahan kecil, dan kini petaninya (pengusaha industri pertaniannya) hanya tinggal 3%. Namun hasil produksi yang 3% itu mampu amencukaupi kebutuhan pangan nasional dan bahkan mengekspor, melebihi kemampuan produksi dari yang 60% pada tahun 1930. Demikian juga kejadian umum di negeri-negeri Eropa dalam revolusi dan evolusi perkembangan pertanian dan kaum taninya. Lalu ke mana sisa dari kaum taninya? Diserap oleh industri dalam perkembangan kapitalisme industri. Proses terjadinya konsentrasi tanah dan perubahan pengolahan tanah menjadi industri pertanian yang modern ini bermacam-macam, hampir mirip dengan situasi di Indonesia, yaitu dengan perampasan, penggusuran, penjualan sukarela dsb. Untuk kasus Indonesia proses dari konsentrasi tanah/perubahan kepemilikan untuk melayani perkembangan industri yang melahirkan berbagai sengketa agraria akan dibahas secara tersendiri.
Hukum kapitalisme yang berlandaskan pada persaingan, kompetisi, yang kuat memakan yang lemah berlaku sama, dan akan tetap berjalan demikian di segala aktifitas perekonomian tak terkecuali di bidang pertanian selama aktifitas pertanian itu bersifat kapitalis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan sempitnya lahan pertanian yang dimiliki mayoritas kaum tani adalah kenyataan namun jalan keluar bahwa kepemilikan tanah kaum tani harus diperluas dalam sistem kepemilikan individu tidaklah tepat sebagai program perjuangan kaum tani dan gerakan rakyat Indonesia secara umum.
Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum tani melalui:
2. Kebijakan Pertanian yang Merugikan kaum tani.
Sekalipun kediktatoran Orde Baru sudah ditumbangkan oleh mahasiswa dan rakyat apada 1998 nasib kaum tani tidak kunjung berubah. Nasib kaum tani menjadi semakin buruk oleh karena kebijakan ekonomi dan pertanian dari penguasa paska Suharto –dari zaman Habibie hingga Pemerintahan SBY-JK memusuhi kepentingan kaum tani untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Sebaliknya para penguasa ini justru sangat memihak kepentingan dari kaum imperialis pertanian dari negeri-negeri utara yang oleh karena kemajuan teknologi produksi dan dukungan kuat pemerintahnya (kebijakan domestik seperti subsidi dan kebijakan perdagangan internasional seperti dumping dan pengusaaan terhadap lembaga keuangan dan perdagangan global) mampu menghasilkan produksi pertanian yang melimpah dan sekaligus mematikan pesaingnya yaitu kaum tani dan industri pertanian di selatan.
Kebijakan yang merugikan ini diantaranya melalui liberalisasi kebijakan industri yang menjadi pendukung dan penopang sektor sektor pertanian seperti pupuk, listrik, dan minyakd an gas. Liberalisasi sektor ini berarti seluruh output produksinya diabdikan pada kepentingan kaum modal, yang mayoritas adalah asing. Pertama sekali subsidi pupuk dihapuskan karena dianggap memboroskan anggaran negara dan menyalahi doktrin pasar bebas. Selanjutnya hasil-hasil pertambangan minyak dan gas kepemilikian dan distribusinya lebih diprioritaskan untuk melayani kebutuhan dan konsumsi oleh dan dari industri-industri di negeri-negeri kapitalis maju. Sehingga industri dalam negeri seperti PLN, industri pupuk –sebagian bahkan harus ditutup seperti PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan terancam ditutup seperti PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) I dan II di Aceh--, dan Pertamina kekurangan pasokkan minyak gas, hal ini menjadi alasan tambahan aabagi Pemerintah SBY-Kalla untuk secara rutin menaikan harga listrik, BBM, gas. Apa dampaknya bagi kaum tani? Harga pupuk, harga jasa pengolahan hasil panen (perontokan, penggilingan dsb), dan pengangkutan terus meningkat. Jika kaum tani bukan pemilik situasi ini dijadikan alasan untuk menaikan biaya pengangkutan dan penyewaan alat-alat pertanian yang dibutuhkan oleh kaum tani. Sehingga biaya produksi yang ditanggung kaum tani meningkat yang otomatis menyebabkan pendapatan kaum tani terus menurun.
Hasil analisis dari Forum Petani Karawang pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari data yang dikompilasi dari usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang menggambarkan bahwa biaya produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999 (Forum Petani Karawang, 2002).
Ditengah berbagia kebijakan yang menindas sistem produksi kaum tani Indonesia ini, Pemerintah Suharto dan penggantinya, tak terkecuali Pemerintahan SBY-JK melengkapi penindasan dan karakternya sebagai kakitangan kaum imperialis dengan kebijakan liberalisasi impor pangan.
Kaum imperialis, melalui dukuangan pemerintah nasionalnya yanga menguasai IMF, Bank Duni, dan WTO, serta tekanan hutang luang negeri, melalui IMF sebagai kreditur hutang dan pemerintahan Indonesia yang bersedia diperalat memaksa Indonesia untuk :
(1) Mencabut subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg, dana terus meningkat pada tahaun-tahuan selanjutnya. Hal ini berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat.
(2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani.
(3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras.
(4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi.
Kasus impor beras yang belum lama ini menjadi heboh politik adalah kelanjutan dari praktek-praktek kekuasaan yang karakternya menjadi kakitangan kaum imperialis. Studi JARNOPP dan OXFAM tahun 2001 dan Forum Petani Karawang (2002) menunjukkan bahwa pasca penerapan liberalisasi ekonomi tahun 1998 terjadi degradasi sektor pertanian, pangan dan kesejahteraan petani Indonesia yang tercermin dalam menurunnya produksi dan stok pangan petani, melonjaknya harga beras, turunnya nilai tukar pertanian dan pendapatan petani, kerentanan pangan dan eliminasi peran perempuan dalam sektor pertanian.
Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan juga berdampak pada pemborosan devisi dan ancaman terhadap kemandirian pangan dari rakyat Indonesia. Total impor komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, kacang tanah dan gandum pada tahun 2001 saja sudah mencapai angka Rp. 11,8 trilyun. Jika produk daging, susu, dan buah-buahan kita masukan angkanya jauh lebih besar. Dimana-mana hampir rak-rak dari pusat-pusat perdagangan di kota-kota dipenuhi dan dijejali produk-produk pangan impor.
Imperialis pertanian untuk merebut pasar pangan di Indonesia juga menyusupkan kepentingannya dalam bentuk “bantuan pangan”. Bantuan pangan merupakan satu bentuk masuknya beras internasional ke Indonesia, dalam bentuk hibah maupun kredit. Indonesia merupakan penerima bantuan pangan terbesar dunia, yakni menerima 1.143.000 ton pada tahun 1998, 522.000 ton pada tahun 1999, dan 554.000 ton pada tahun 2000. Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan tiga penyumbang bantuan pangan terbesar Indonesia. Bentuk bantuan terbesar adalah gandum, diikuti terigu, dan beras.
Tekanan dan dampak dari kebijakan liberalisasi kebijakan industri pendukung dan penopang sektor pertanian, serta kebijakan liberalisasi perdagangan pangan mengakibatkan:
3. Produktifitas pertanian yang rendah.
Penurunan areal luas panen padi - Jika pada tahun 1999 luas areal panen 11.963 ribu hektar, maka tahun 2000 turun menjadi 11.793 ribu hektar dan tahun 2001 menjadi 11.415 ribu hektar. Penurunan ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya harga jual gabah dibanding biaya produksi yang meningkat, yang terjadi selama kurun waktu itu, juga oleh konversi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian karena rendahnya nilai tambah pertanian padi.
Krisis ekonomi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan produksi beras menurun sebesar -3,9%, kemudian menurun lebih besar yakni –4,9% pada tahun 1998. Pada tahun 1999 dan 2000 produksi beras meningkat masing-masing 1,8% dan 3,9%, namun pada tahun 2001 menurun lagi sebesar –3,4%.
Liberalisasi perdagangan mempunyai konsekwensi besar bagi Indonesia, terutama terhadap sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti pangan dan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok bagi 210 juta penduduk Indonesia, dan menyerap 49,7 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 44,62 juta angkatan kerja pada tahun 2002 (BPS, 2003). Dengan demikian pertanian memiliki dimensi yang sangat luas diantaranya ketahanan pangan, penyerapan lapangan kerja, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan
Menjadi jelas pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, pihak yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan kepentingannya, pihak yang menjadi musuh kaum tani dan pihak yang menjadi sekutu kaun tani dari kebijakan liberalisai sektor pertanian ini. Pihak yang diuntungkan adalah imperialis pertanian dan pangan dari utara (teruama AS, Kanada, Eropa, Australia), belakangan juga Cina, juga elit penguasa seperti Pemeirntahan SBY-Kalla dan kapitalis dalam negeri yang menjadi kroninya dan berperan sebagai pedagang perantara. Sedang pihak yang dirugikan adalah kaum tani dalam hal liberalisasi sektor pertanian, dan kaum buruh diperkotaan dan seluruh rakyat miskin dalam hal liberalisasi perdagangan secara umum yanga menjadi korban kebangkrutan industri dalam negeri. Era harga murah barang-barang hasil impor hanyalah sesaat saja, karena seiring dengan itu daya beli seluruh rakyat semakin merosot.
Menjadi jelas juga bahwa musuh pokok dari perjuangan kaum tani secara umum adalah kaum imperialis dan sistem imperialisme serta Pemerintahan SBY-Kalla yang bersedia menjadi kakitangan dari kepentingan kaum imperialis; dan sekutu perjuangan dari kaum tani adalah kaum buruh dan seluruh rakyat miskin yang menjadi korban dari politik dan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan kaum imperialis.
Ketidakadilan Dalam Sengketa Agraria
Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satau basis dari perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk kepentingan keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan, pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di pinggiran kota), proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate, lapangan golf, dan pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.
Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas kembali, terutama paska Tragedi 65.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971 Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani sebagai korban langsung dari konflik tersebut.
Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industri-industri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf maka dapat dirubah kembali menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan?
Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan TNI/Polri ini sangat menonjol.
Model kedua dari terjadinya konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto. Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.
Pemerintahan SBY-JK Memusuhi Perjuangan Kaum Tani.
Di dalam penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum imperialis dan kapitalis/imperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang menjadi bawahannya (militer, pengadilan, juga pemerintahan daerah)m juga institusi parlemen.
Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, TDL, kebangkrutan industri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU.
Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita hamper tiak pernah mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk menindas perjuangan kaum tani.
Sistem demokrasi dan struktur kekuasaan.
Situasi demokrasi telah berhasil direbut oleh rakyat sebagai hasil dari perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menumbangkan kediktatoran Orde Baru pada tahun 1998. Namun struktur kekuasaan dan produk kekuasaan tidak juga memberi manfaat dan menyelesaikan kepentingan yang menjadi tuntutan perjuangan dari kaum tani.
Keuntungan yang mampu diambil oleh kaum tani barulah memaanfaatkan situasi yang relative kebebasan jika dibandingkan dengan periode kediktatoran dengan membangun, mengrganisasikan dan membangkikan perjuangan kaum dimana-mana. Skala perlawanan dan pertumbuhan organisasi kaum tani juga telah demikian luas.
Namun demikian perkembangan kaum tani ini masih menghadapi persoalan-persoalan :
1. Secara ideologis isu keadilan dalam penyelesaian sengketa agrarian yang menjadi isu dominant dalam perjuangan kaum tani. Perjuangan melawan imperialis dan seluruh kepentingannya masih kurang menonjol. Walau gejala-gejalanya sudah mulai kelihatan misalnya pergolakan kaum tani yang memprotes kelangkaan dan mahalnya pupuk pada akhir tahun 1999, perlawanan petani tebu menolak gula impor, dan protes terhadap impot beras yang cukup ramai belakangan ini. Dalam perjuangan demokratik potensi dan energi perjuangan yang besar dari kaum tani juga belum terolah dengan baik. Misalnya saja sepanjang pertengahan tahun 1998 hingga akhir tahun 1999 ribuan desa di Jawa bergolak, dimana-mana kaum tani menggulingkan pemeirntahan desa bahkan bupati yang korup.
2. Secara politik gerakan kaum tani membiarkan ruang dan struktur kekuasaan diambil dan dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang memusuhi kepentingan kaum tani untuk mempersulit kehidupan dan menindas perjuangan kaum tani. Gerakan kaum tani kurang menggunakan seluruh ruang, peluang, dan institusi demokratik sebagai hasil dari perjuangan melawan kediktatoran untuk kepentingan perjuangan kaum tani dan rakyat miskin secara umum. Misalnya dalam momentum Pemilu atau Pilkada. Sehingga isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh kaum tani tidak mewarnai dari setiap watak konflik yang muncul dari kekuasaan. Sehingga dalam kepentingan ini lapangan politik front persatuan untuk melawan imperialis dan menyelesaiakan problem agraria juga kurang dimanfaatkan dengan baik oleh gerakan kaum tani.
3. Secara organisasi gerakan kaum tani telah mencapai perkembangan yang baik misalnya tumbuh suburnya berbagai organisasi petani baik yang berskala nasional, apalagi di lokal-lokal propinsi dan kota-kota. Tantangan organisasional dari gerakan kaum tani adalah bagaimana mengkonsolidasikan potensi-potensi ini sehingga mampu keluar dari keterbatasan isu yang menjadi karakter dari banyak organisasi petani misalnya hanya membatasi perjuangan pada isu-isu tertentu saja, juga keterbatasan karakter lokal dari organisasi dan tuntutan yang diperjuangan kaum tani. Persoalan ini juga menjadi persoalan umum yang dihadapi oleh gerakan rakyat di sektor-sektor lainnya.
Konsolidasi dari gerakan dan organisasi massa kaum tani penting untuk menjawab perssoalan-persoalan diatas. Karena pada hakekatnya perjuangan melawan imperiliasme adalah tugas nasional dari mayoritas rakyat Indonesia untuk dapat keluar dari krisis ekonomi dan keterbelakangan tenaga produktifnya. Penyelesaian sengketa agraria yang menjadi kepentingan kaum tani akan mengalami kesulitan ketika persoalan ini tidak menjadi persoalan dan karakter umum dari gerakan rakyat.
Selengkapnya...
GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struk¬tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.
ILUSTRASI TENTANG PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA
Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun 1915. Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930.
Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta pemogokan-pemogokan buruh.
Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.
Pada masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktiv dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan Pemilu 1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.
Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga nan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-ak stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno.
GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.
Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Namun seperti juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat kesalahan strategi lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan massa yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari; dan gerakan '78 dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis¬wa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!
Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa
Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.
Untuk membangun kembali Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya terhadap kelas kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor. Beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung. FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi.
Akhirnya Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999.
Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.
Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya seperti dari buruh ada FNPBI yang cukup dominan serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.
Lewat mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik gadungan seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih juga melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.
Gerakan Mahasiswa Kini
Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi –termasuk LMND.
Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.
Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.
Selengkapnya...
Kamis, 13 November 2008
Asal Usul Penindasan Terhadap Kaum Perempuan
Oleh : Jaringan Nasional Perempuan Mahardika (JNPM)
Perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini.
Tapi anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi
sudah menemukan bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian. Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.
Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Pertanian dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan dengan pandangan umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.
Peradaban pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih tersedia air.
Proses penaklukan ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki, pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.
Dan di saat inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.
Keharusan manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses komunal menjadi proses individual.
Dan, hal yang paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di samping itu, pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada pri-kehidupan manusia.
Namun, hasil lebih ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen, mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara pada pri-kehidupan manusia.
Sekalipun berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh dunia.
Dan salah satu perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan.
Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya di muka bumi.
Kepemilikan Pribadi dan Patriarki
Tergesernya kaum perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya kepemilikan pribadi.
Dengan semakin bergesernya proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.
Hampir di tiap masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal. Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.
Oleh karena pola reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata "gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran" atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.
Namun demikian, garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara kedudukannya di tengah masyarakat.
Namun, pertanian mengubah semua itu.
Di atas kita telah melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri. Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.
Yang tidak dapat dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah sistem masyarakat.
Dalam hal ini, karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan perorangan.
Dan karena perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki, maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki, kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki. Berikutnya, ketika kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.
Ketika hak untuk mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum laki-laki, bangkitlah patriarki.
Perlahan-lahan, setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan. Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.
Salah satunya nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno, seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi (perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau perempuan.
Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan
Di atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.
Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.
Kondisi ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup keluarganya.
Lagipula, kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin hari semakin berjaya kembali.
Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih pasangan hidup.
Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Di tengah masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak dibatasi kembali ruang geraknya.
Sebaliknya, banyak pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan, ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer dan direktur perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka sebagai perempuan?
Contoh paling kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah seorang perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal, tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik yang moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup. Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok domestik.
Di atas telah kita lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan perempuan: kepemilikan pribadi.
Kepemilikan pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara pribadi, secara perorangan.
Dan oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme. Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi. Hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial dan politik.
Selengkapnya...