Jumat, 14 November 2008

- Pertanian Sebagai Komoditas -

TINJAUAN SEJARAH MENGUATNYA KEMBALI LIBERALISME DALAM SISTEM EKONOMI-POLITIK DUNIA

Sebaiknya, kita telusuri juga sejarah bagaimana sistim ekonomi-politik liberal dunia mencoba mengatasi krisis dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, agar bisa dimengerti mengapa sampai pada kesimpulan : NEOLIBERALISME MERUPAKAN JALAN KELUAR SISTIM EKONOMI-POLITIK LIBERAL , yang hasilnya adalah krisis dan ekses-ekses juga.

I. MENGAPA KEMBALI PADA LIBERALISME?

Tak seperti situasi sekarang, pada akhir 1920-an, kelimpahan kapasitas produksi di segala bidang (structural overcapacity) dan pasar finansial yang (walaupun) diawasi dengan ketat telah menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Tak seperti sekarang juga, saat itu krisis diatasi dengan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju permintaan kredit konsumsi—yang dianggap akan meningkatkan harga-harga inflatory barang dan jasa. Namun, pada tahun 1929, stock-market mengalami kehancuran, harganya mengalami penurunan gila-gilaan, mengakibatkan banyak investor dan kreditor bangkrut, serta investasi produksi menurun secara dramatik. Bank sentral Amerika (US Federal Reserve) tak bisa lagi mempertahankan sistim perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri maju yang saling bersaing semakin meningkatkan penjagaan proteksionisnya. Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang. Krisis sosial politik (potensial) siap meledak, yang bukan saja akan melanda Amerika namun juga berpengaruh secara global.



Untuk menghindari ledakan krisis sosial politik itu, Presiden Franklin D. Roosevelt mendorong pemerintahannya campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi, yakni dengan memusatkan perhatiannya pada penyediaan lapangan kerja secara besar-besaran (massive). Pada musim dingin 1933-34 saja sudah 4 juta orang bisa diberikan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum dengan basis legitimasi fiskal (anggaran belanja defisit) dan juridis (UU Jaminan Sosial/Social Security Act of 1935). Roosevelt’s New Deal tersebut tak lain merupakan pengakuan: bahwa dalam babak (sejarah) dominasi perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal keuangan, ekonomi liberal membutuhkan intervensi negara karena bila tanpa itu, atau bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka sistim itu akan runtuh. Hanya negara yang sanggup memperpanjang hidup liberalisme.
Perbaikan atau jalan keluar bagi ekonomi Amerika—bisa menyelesaikan depresi ekonomi seperti, misalnya saja, pengangguran bisa ditekan menjadi 4,5 juta (dari 13 juta orang)—hanya berlangsung selama 2 tahun saja (1936-1937), karena pada bulan Maret, 1938, pengangguran meningkat lagi menjadi 11 juta orang, dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II. Cara Keynesian di atas hanya lah akan mendorong inflasi harga barang dan jasa bila para investor, yang menguasai bisnis, tak bisa MEMPERLUAS PASAR bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan, itu lah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian, sebenarnya, memiliki keterbatasan. Hanya atas dorongan pemerintah lah—melalui anggaran defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai PD II—pengangguran bisa diatasi. Hanya perang atau persiapan perang saja yang ternyata bisa memperluas pasar—melalui pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah.
Persis, seperti yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment, Interest and Money

“Perang telah menjadi satu-satunya bentuk pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus disetujui, diabsyahkan, oleh para negarawan.”

Jadi, adalah MITOS menyimpulkan bahwa adopsi kebijakan Keynesian lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an. Karena, sebenarnya, restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi produksi) lah yang menyelamatkannya, yakni melalui: 1) rendahnya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an); 2) hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara massive; 3) anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak awal 1940-an.
Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, maka seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi—terutama penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomasi proses produksi, yang dapat lebih melimpahkan hasil produksi. Revolusi teknologi itu menyebabkan berlipatgandanya keuntungan (profit) karena bisa menghemat ongkos produksi, yang memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah dengan konsumen yang lebih besar. Lagi-lagi, anggaran belanja defisit negara pada massa Perang Dunia II dan Perang Dingin lahyang disalurkan untuk penelitian dan pengembangan (research and development) serta perbaikan/peningkatan teknis (technical improvements)yang mendorong meningkatnya penemuan-penemuan teknologis (technological innovations) pada paruh kedua abad ke-20. Di atas basis penemuan-penemuan teknologi itu lah impian para investor diletakkan: bisa menggunakan segala cara untuk memaksakan perluasan pasar, menekan biaya tenaga kerja dan pengerukan sumberdaya global—semuanya itu sering dihaluskatakan (euphemism) menjadi “globalisasi”.
Faktanya, pada tahun 1870, rata-rata pendapatan per kapita negeri-negeri kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita negeri-negeri miskin, pada tahun 1965 meningkat menjadi 38 kali, dan pada tahun 1985 menjadi 58 kali.

II. PERTANIAN SEBAGAI KOMODITAS.

II. 1. Relasi Negara Utara – Negara Selatan

Pada dasawarsa 70-an dan 80-an, wajah ekonomi dunia berubah. Di negara-negara Utara pertumbuhan ekonomi berjalan lambat dan bergerak ke arah resesi ekonomi. Keadaan ekonomi dipersulit karena pengambil-alihan perusahaan-perusahaan besar di negara-negara Utara oleh negara-negara Selatan, terutama dalam hal ini oleh perusahaan-perusahaan besar Jepang; mengalirnya imigran dari Selatan yang mengancam lapangan kerja domestik negara-negara Utara; peningkatan yang begitu cepat sumbangan bidang jasa dalam output domestik; dan pembangunan sistem pabrik global oleh TNCs. Semuanya ini mendorong negara-negara Utara untuk berusaha meninjau kembali mekanisme, proses dan hubungan-hubungan perdagangan internasional yang sedang berlaku.
Sejak lama sebenarnya negara-negara Selatan sudah mengambil inisiatif untuk meninjau kembali hubungan-hubungan perdagangan internasional, namun dengan tujuan yang berbeda. Pada tahun 1970-an negara-negara Selatan membentuk Kelompok 77 di bawah United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan berusaha menyusun suatu Tata Ekonomi Internasional Baru (NIEO) untuk merestruktur apa yang dipandang sebagai hubungan perdagangan “pusat – pinggiran” atau hubungan ketergantungan antara Utara dan Selatan.
Tanggapan dari Utara tidak menggembirakan dan sebagai tandingannya negara-negara Utara menggunakan IMF dan Bank Dunia untuk menerapkan Struktural Adjustment Programs (SAPs) di negara-negara yang dibebani utang. Inti dari SAP adalah liberalisasi perdagangan, deregulasi dan privatisasi yang merupakan resep dari negara-negara Utara untuk secara perlahan mengintegrasikan Selatan ke dalam sistem perdagangan internasional. Jadi Bank Dunia dan IMF telah dijadikan sebagai kendaraan utama dari negara-negara Utara untuk melakukan reformasi struktural dalam perdagangan global. Karena itu harus dipahami dengan saksama dan disadari dengan kritis bahwa proses restrukturisasi ekonomi, khususnya perdagangan (yang secara domestik di Indonesia dikenal dengan gerakan reformasi ekonomi) tidak didorong oleh tuntutan dari Selatan – yang semula berusaha membangun NIEO melalui UNCTAD – melainkan oleh agenda ekonomi dan politik dari Utara.
Dengan demikian apa tujuan dari perdagangan bebas (melalui reformasi ekonomi) dan apa pengaruhnya bagi Indonesia masa depan? Apa yang harus dipersiapkan untuk para petani dan institusi ekonomi pertanian yang akan dikenai dampak langsung oleh restrukturisasi perdagangan dunia tersebut?

II. 2. Pasar Bebas atau Pasar yang Dikendalikan?

Sejak pertengahan 1980-an, pasar bebas menjadi tema hangat dan semua negara maju bersatu untuk mendorong berkembangnya pasar yang bebas ini dengan berbagai program bantuan ke Dunia Ketiga, dengan pelaksana utama IMF dan Bank Dunia. Program penyesuaian struktural (SAPs) merupakan kebijakan utama untuk memacu liberalisasi pasar ini. Secara umum negara-negara sedang berkembang pun mulai bergerak dari proteksi yang kokoh dan dianggap destruktif menuju perdagangan atau pasar yang lebih bebas.
Pergeseran ini terutama disebabkan oleh empat hal berikut:
Anti-statisme. Jika sebelumnya peranan negara sangat dominan dalam ekonomi dan dipandang sebagai suatu keniscayaan demi pertumbuhan ekonomi, pada awal 1980-an campur tangan pemerintah ini dikritik sebagai sumber dari kemandegan ekonomi. Proteksi merupakan manifestasi dari peranan negara yang intrusif. Dalam kenyataannya memang negara telah menjadi kekuatan predator yang menghabiskan sumberdaya produktifnya untuk kegiatan-kegiatan yang secara strategis tidak produktif.
Kinerja ekonomi yang rendah. Banyak negara sedang berkembang mengalami kinerja ekonomi yang lamban dan potensi produksinya menurun. Kebanyakan sumbernya disebabkan oleh kebijakan-kebijakan makroekonomik yang populis yang menghasilkan krisis utang dan hiperinflasi. Meskipun ada juga penyebab lain yakni lingkungan eksternal yang sangat tidak mendukung. Namun sejak berakhirnya masa kredit yang melimpah, perhatian harus diarahkan kepada pencapaian produktivitas sebagai sumber pertumbuhan. Perdagangan bebas dianggap menjadi bagian dari solusinya.
Informasi. Masing-masing warga negara terbuka kepada lebih banyak informasi tentang barang yang ada di negara-negara lain. Penyebaran informasi yang luas ini membuka wawasan orang untuk melihat peluang-peluang baru dan mendorong warga negara untuk membongkar jerat-jerat proteksi negara.
Tekanan Bank Dunia dan bukti keberhasilan. Ternyata terdapat banyak masalah dengan strategi perdagangan yang inward-looking dan banyak juga pelajaran yang dapat dipetik dari strategi-strategi perdagangan yang outward-looking. Kinerja yang baik dari negara-negara yang mengambil kebijakan-kebijakan yang outward-oriented mendorong Bank Dunia untuk mengambil liberalisasi perdagangan sebagai syarat pinjaman.
Memang, dari tahun 1930-an banyak negara mengambil strategi proteksi terhadap ekonominya masing-masing. Kebijakan industrialisasi yang diproteksi dengan tariff dan kwota impor diambil sebagai suatu strategi pembangunan dengan maksud untuk menumpuk devisa untuk pembayaran utang. Strategi ini berasumsi bahwa negara-negara produser komoditas primer mengalami penurunan terms of trade; pertumbuhan permintaan akan komoditas primer kecil karena elastisitas permintaan terhadap komoditas tersebut rendah dan substitusi terhadap bahan-bahan alternatif. Sementara di pihak lain, tingginya tingkat kemajuan teknis di sisi penawaran menciptakan suatu situasi kelebihan penawaran dan menurunnya harga relatif.
Proteksionisme mendapat dukungan kuat dan hendak dipertahankan terus oleh negara-negara Selatan, yang terutama dipelopori oleh Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin (ECLA). ECLA memandang bahwa negara-negara sedang berkembang harus mencari strategi industrialisasi impor, atau yang dikenal dengan import substitution industrialization (ISI), untuk menghindari memburuknya secara drastis tersm of trade negara-negara tersebut. ISI berarti bahwa pembangunan industri domestik dilaksanakan di bawah hambatan-hambatan proteksi yang mencakup tariff, kwota dan lisensi. Pandangan ECLA ini kemudian pada 1960-an menguat dengan dibentuknya UNCTAD, yang merupakan forum di mana para intelektual Dunia Ketiga membentuk dan mengkaji pandangan-pandangannya mengenai perdagangan dan strategi pembangunan.
Namun, pada akhir 1970-an dan 1980-an proteksi di negara-negara sedang berkembang melunak. Banyak negara mengakui bahwa proteksi dengan tariff dan kwota tidak hanya menghambat impor, tetapi juga menyebabkan menurunnya permintaan akan devisa yang juga menyebabkan apresiasi mata uang dan kemudian pajak yang ketat pada ekspor baik untuk komoditi-komoditi tradisional maupun barang-barang industri yang baru berkembang. Ditambah lagi dengan desakan dari negara-negara Utara melalui IMF dan Bank Dunia, maka dimulailah suatu era baru dalam perdagangan global, yang disebut perdagangan bebas.
Secara singkat dan umum, pasar bebas adalah suatu pasar tanpa intervensi negara .

Anne O. Krueger mendefinisikan liberalisasi sebagai

“Setiap tindakan kebijakan yang mengurangi ketatnya kontrol – baik dengan cara penghapusan kontrol tersebut secara lengkap atau pun dengan cara penggantian kontrol yang ketat dengan kontrol yang kurang ketat”.

Namun definisi pasar bebas dan liberalisasi ini mengandung banyak kontradiksi.

Karena itu jika kita ingin menentukan apakah suatu pasar itu bebas atau tidak, perlu dipahami institusi-institusi yang mendasarinya yang mendefinisikan struktur hak dan kewajiban bagi para partisipan di dalam suatu pasar tertentu. Institusi-institusi yang perlu dipahami dalam konteks ini mencakup:
(1) aturan-aturan formal dan informal yang mengatur cara di mana kepentingan-kepentingan diorganisasikan dan dilaksanakan (eg. Aturan-aturan tentang asosiasi politik, aturan-aturan tentang inkorporasi, aturan-aturan tentang lobby);
(2) ideologi-ideologi formal dan informal yang berkaitan dengan pandangan seperti “fairness” dan “hak-hak alamiah” yang ada di dalam masyarakat (eg. Hak-hak bagi setiap orang akan pemilikan pribadi, hak-hak bagi anak-anak akan pendidikan);
(3) institusi-institusi formal dan informal yang menentukan bagaimana struktur hak dan kewajiban dapat diubah (eg. Prosedur-prosedur bagi perubahan-perubahan legal, kebiasaan-kebiasaan sosial tentang kapan dan bagaimana beberapa hak/kewajiban de facto bisa menjadi “legitimate”, kalau bukan harus dilegalkan).
Jadi sebenarnya definisi pasar bebas itu sebenarnya tidak terlalu jelas karena semua pasar memiliki beberapa aturan negara mengenai siapa yang bisa berpartisipasi di dalam pasar tertentu dan dalam hal seperti apa.
Dalam kaitan dengan perdagangan dan ekonomi global, kita akan bisa lihat dengan jelas bahwa sebenarnya nuansa bebas dari pasar atau perdagangan bebas itu sebenarnya hampir tidak nyata. Apa yang disebut sebagai liberalisasi pasar atau pasar bebas sebenarnya suatu pengaturan pasar oleh kekuatan-kekuatan ekonomi global, yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs), yang dewasa ini dikendalikan melalui WTO.

II. 3. Dominasi Negara maju Melahirkan Krisis Negara Berkembang

Dari jumlah tenaga kerja global sebanyak 2,5 milyar orang, 59%-nya sekarang berada di tempat yang oleh Bank Dunia digolongkan sebagai “negeri-negeri dengan upah murah”, 27%-nya berada di “negeri-negeri dengan upah menengah”, dan hanya 15%-nya yang tinggal di “negeri-negeri dengan upah mahal”.
Wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico, “selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat!”; fakta mengatakan bahwa daya beli upah pekerja non-supervisory, bahkan di AS, telah jatuh sejak tahun 1973 sampai pada level tahun 1950-an; rata-rata upah riil di Mexico jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an; dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico kini lebih rendah dibanding sebelum PD II; bahkan, di negeri-negeri maju, pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata 8%—perbaikan dengan dinamisme besar-besaran pada tahun 1994, dalam 18 bulan menguap lagi. Pada periode tersebut, menurut laporan resmi, semenjak akhir resesi, pengangguran di negeri-negeri maju hanya menurun menjadi 7,8%.
Meksiko, justru semakin parah perekonomiannya ketika menerapkan kebijakan neoliberalisme seperti yang “dikomandoi” oleh IMF. Meksiko dan beberapa negeri Amerika Latin lainnya merupakan tumbal dari krisis tersebut; seperti juga Mozambique di Afrika; Filipina, Thailand dan Indonesia di Asia. Dalam periode krisis di awal tahun 1990-an, Meksiko selalu berada dalam daftar 5 besar negeri pengutang. Akan tetapi, yang penting diperhatikan adalah perkembangan ekonomi Meksiko saat itu menunjukan kemunduran yang tajam, dengan tingkat inflasi hingga 200%. Sadar atau tidak, banyak industri di Meksiko mengalami kebangkrutan karena tingkat daya beli rakyat yang rendah, sedangkan biaya hidup sangat tinggi. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah Meksiko, yang saat itu dipimpin oleh Carlos Salinas? Apakah yang dilakukan massa-rakyat dengan kondisi perekonomian yang semakin menekan kehidupannya?
Berbagai usaha yang dilakukan oleh presiden Salinas tak jauh dari perkiraan banyak kalangan: kembali mengemis bantuan IMF dan WB, dan tak mampu merumuskan kebijakan baru yang lebih mampu melindungi kemakmuran rakyat. Kebijakan ekonomi Meksiko, dengan seluruh kemampuan masyarakatnya untuk berproduksi, dikembangkan dengan basis hutang luar negeri, dengan persyaratan yang kental dengan tuntutan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Akan tetapi, kemunduran itu tidak saja ditandai dengan “kemampuannya” untuk menjual perusahaan-perusahaan negara, melainkan juga menjual semua asset perusahaan negara, yang dipertukarkan dengan berbagai macam penanaman modal asing dan hutang luar negeri. Agar para investor AS, Eropa dan Jepang mau menanamkan investasinya di Meksiko, maka diberikan lah kemudahan-kemudahan seperti penurunan tarif pajak impor, dan pendekatan ke Konfederasi Pekerja Meksiko agar tidak melancarkan tuntutan kenaikan upah. Kalau pun masih terdapat banyak halangan terhadap penanaman modal asing, akan lebih banyak kemudahan lain yang ditawarkan seperti, misalnya, dukungan terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam/agraria dan dan sumber daya manusia di Meksiko.
Dengan adanya liberalisasi perdagangan dan privatisasi perusahaan negara, tingkat kehidupan masyarakat menjadi anjlog hingga mencapai angka di bawah standar normal. Malah, yang lebih mengenaskan, kemampuan produktif masyarakat yang selama sebelum periode liberalisasi perdagangan berada pada tingkat 32% di atas rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) negeri sedang berkembang, seketika menjadi menurun sampai di bawah batas rata-rata setelah dipaksa bersaing dengan investor asing. Dengan kondisi demikian, tidak lah mengherankan jika kemampuan masyarakat untuk membeli bahan-bahan pangan merosot jauh. Akhirnya, dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan rakyat Meksiko mengalami degradasi luar biasa.
Pada tahun 1997, setelah terjadi pergantian presiden dari Carlos Salinas ke Ernesto Zedillo, pemerintahan Meksiko mengumumkan bahwa pemerintah sudah berhasil membayar hutang-hutang luar negerinya, khususnya kepada AS. Akan tetapi itu bukan lah sebuah keberhasilan. Seperti yang dikatakan oleh menteri keuangan Meksiko bahwa pembayaran hutang tersebut dilakukan dengan penjualan semua asset negara (dalam bentuk surat obligasi) kepada para pemilik modal di Eropa.
Bukan kah tepat bila analogi dampak-dampak neoliberalisme seperti ini: “Apa yang ditawarkan adalah mengubah dunia menjadi satu mall-besar, di mana mereka bisa membeli Indian di sini, membeli wanita di sana …anak-anak, imigran, kaum pekerja, bahkan sebuah negeri seperti Meksiko.”










Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani Ditengah Serangan Imperialisme

Kelemahan Tenaga Produktif Dalam Pertanian di Indonesia

1. Pemilikan tanah skala kecil
Hal ini adalah realitas yang nyata. Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri (petani berlahan sempit lainnya) yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya.

Tabel. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura

Tahun Sensus Pertanian Jumlah Petani di Jawa dan Madura Rata-Rata Penguasaan Tanah (Ha)
1963 7,95 Juta 0,71
1973 8,27 Juta 0,60
1983 10,27 Juta 0,30
Sumber : Prof. Sediono M.P Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, Hal.13

Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan kesejahteraannya iya. Tapi kesejahteraan yang meningkat itu akan melalui cara seperti apa? Lalu tanah yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani dari mana? Tak bisa lain dalam sistem kapitalisme bahwa perluasan lahan akan membutuhkan tenaga kerja/buruh. Apakah peningkatan kesejahteraan ini melalui eksploitasi tenaga kerja/buruh ini yang akan menjadi tujuan dari perjuangan kaum tani? Dimana perbedaannya dengan pengusaha perkebunan yang menindas kesejahteraan buruh-buruhnya. Ini satu soal. Lalu tanah yang mana yang akan dibagi-bagikan kepada kaum tani untuk memperluas kepemilikan lahannya? Di pulau Jawa yang menjadi konsentrasi terbesar dari petani berlahan sempit jelas kesulitan untuk menambah perluasaan lahan kecuali melalui program transmigrasi. Namun pola transimigrasi model Orde Baru yang hingga saat ini tidak terlalu mengamali perubahan, dimana kaum tani dipindahkan ke luar Jawa dan diberikan lahan seluas 2 hektar, dengan dukungan infrastruktur yang tidak memadai jelas bukan menyelesaikan masalah,a namun justru menambaha penderiataan kaum tani. Sangat seirng kita mendengar nasib para trnsmigran yang ditelantarkan. Bandingkan dengan pola transmigrasi di Malaysia, transmigrannya diberikan lahans eluas 10 hektar dan dibantu akses kredit murah, yang kewajiban membayarnya baru dicicil ketika sudah mulai berproduksi –inilah tulang punggung keunggulan industri perkebunan di Malaysia jika dibandingkan dnegan perkebunan rakyat di Indonesia. Yang diluar Jawa masih mungkin dengan pembukaan hutan. Namun situasi umum yang terjadi diluar Jawa adalah luas tanah yang melimpah ini gagal diolah secara produktif sehingga tanah-tanah adat atau pembukaan hutan gagal menghasilkan struktur produksi pertanian yang kuat dan modern, --kecuali perkebunan-perkebunan yang dikelola secara modern baik BUMN maupun swasta—tanpa bantuan modal dan teknologi.
Persoalan sempitnya lahan yang dimiliki mayoritas kaum tani harus dilihat secara lain. Pada tahun 1930, 60% dari penduduk AS adalah petani berlahan kecil, dan kini petaninya (pengusaha industri pertaniannya) hanya tinggal 3%. Namun hasil produksi yang 3% itu mampu amencukaupi kebutuhan pangan nasional dan bahkan mengekspor, melebihi kemampuan produksi dari yang 60% pada tahun 1930. Demikian juga kejadian umum di negeri-negeri Eropa dalam revolusi dan evolusi perkembangan pertanian dan kaum taninya. Lalu ke mana sisa dari kaum taninya? Diserap oleh industri dalam perkembangan kapitalisme industri. Proses terjadinya konsentrasi tanah dan perubahan pengolahan tanah menjadi industri pertanian yang modern ini bermacam-macam, hampir mirip dengan situasi di Indonesia, yaitu dengan perampasan, penggusuran, penjualan sukarela dsb. Untuk kasus Indonesia proses dari konsentrasi tanah/perubahan kepemilikan untuk melayani perkembangan industri yang melahirkan berbagai sengketa agraria akan dibahas secara tersendiri.
Hukum kapitalisme yang berlandaskan pada persaingan, kompetisi, yang kuat memakan yang lemah berlaku sama, dan akan tetap berjalan demikian di segala aktifitas perekonomian tak terkecuali di bidang pertanian selama aktifitas pertanian itu bersifat kapitalis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan sempitnya lahan pertanian yang dimiliki mayoritas kaum tani adalah kenyataan namun jalan keluar bahwa kepemilikan tanah kaum tani harus diperluas dalam sistem kepemilikan individu tidaklah tepat sebagai program perjuangan kaum tani dan gerakan rakyat Indonesia secara umum.
Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum tani melalui:

2. Kebijakan Pertanian yang Merugikan kaum tani.

Sekalipun kediktatoran Orde Baru sudah ditumbangkan oleh mahasiswa dan rakyat apada 1998 nasib kaum tani tidak kunjung berubah. Nasib kaum tani menjadi semakin buruk oleh karena kebijakan ekonomi dan pertanian dari penguasa paska Suharto –dari zaman Habibie hingga Pemerintahan SBY-JK memusuhi kepentingan kaum tani untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Sebaliknya para penguasa ini justru sangat memihak kepentingan dari kaum imperialis pertanian dari negeri-negeri utara yang oleh karena kemajuan teknologi produksi dan dukungan kuat pemerintahnya (kebijakan domestik seperti subsidi dan kebijakan perdagangan internasional seperti dumping dan pengusaaan terhadap lembaga keuangan dan perdagangan global) mampu menghasilkan produksi pertanian yang melimpah dan sekaligus mematikan pesaingnya yaitu kaum tani dan industri pertanian di selatan.
Kebijakan yang merugikan ini diantaranya melalui liberalisasi kebijakan industri yang menjadi pendukung dan penopang sektor sektor pertanian seperti pupuk, listrik, dan minyakd an gas. Liberalisasi sektor ini berarti seluruh output produksinya diabdikan pada kepentingan kaum modal, yang mayoritas adalah asing. Pertama sekali subsidi pupuk dihapuskan karena dianggap memboroskan anggaran negara dan menyalahi doktrin pasar bebas. Selanjutnya hasil-hasil pertambangan minyak dan gas kepemilikian dan distribusinya lebih diprioritaskan untuk melayani kebutuhan dan konsumsi oleh dan dari industri-industri di negeri-negeri kapitalis maju. Sehingga industri dalam negeri seperti PLN, industri pupuk –sebagian bahkan harus ditutup seperti PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan terancam ditutup seperti PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) I dan II di Aceh--, dan Pertamina kekurangan pasokkan minyak gas, hal ini menjadi alasan tambahan aabagi Pemerintah SBY-Kalla untuk secara rutin menaikan harga listrik, BBM, gas. Apa dampaknya bagi kaum tani? Harga pupuk, harga jasa pengolahan hasil panen (perontokan, penggilingan dsb), dan pengangkutan terus meningkat. Jika kaum tani bukan pemilik situasi ini dijadikan alasan untuk menaikan biaya pengangkutan dan penyewaan alat-alat pertanian yang dibutuhkan oleh kaum tani. Sehingga biaya produksi yang ditanggung kaum tani meningkat yang otomatis menyebabkan pendapatan kaum tani terus menurun.
Hasil analisis dari Forum Petani Karawang pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari data yang dikompilasi dari usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang menggambarkan bahwa biaya produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999 (Forum Petani Karawang, 2002).
Ditengah berbagia kebijakan yang menindas sistem produksi kaum tani Indonesia ini, Pemerintah Suharto dan penggantinya, tak terkecuali Pemerintahan SBY-JK melengkapi penindasan dan karakternya sebagai kakitangan kaum imperialis dengan kebijakan liberalisasi impor pangan.
Kaum imperialis, melalui dukuangan pemerintah nasionalnya yanga menguasai IMF, Bank Duni, dan WTO, serta tekanan hutang luang negeri, melalui IMF sebagai kreditur hutang dan pemerintahan Indonesia yang bersedia diperalat memaksa Indonesia untuk :
(1) Mencabut subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg, dana terus meningkat pada tahaun-tahuan selanjutnya. Hal ini berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat.
(2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani.
(3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras.
(4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi.
Kasus impor beras yang belum lama ini menjadi heboh politik adalah kelanjutan dari praktek-praktek kekuasaan yang karakternya menjadi kakitangan kaum imperialis. Studi JARNOPP dan OXFAM tahun 2001 dan Forum Petani Karawang (2002) menunjukkan bahwa pasca penerapan liberalisasi ekonomi tahun 1998 terjadi degradasi sektor pertanian, pangan dan kesejahteraan petani Indonesia yang tercermin dalam menurunnya produksi dan stok pangan petani, melonjaknya harga beras, turunnya nilai tukar pertanian dan pendapatan petani, kerentanan pangan dan eliminasi peran perempuan dalam sektor pertanian.
Kebijakan liberalisasi perdagangan pangan juga berdampak pada pemborosan devisi dan ancaman terhadap kemandirian pangan dari rakyat Indonesia. Total impor komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, kacang tanah dan gandum pada tahun 2001 saja sudah mencapai angka Rp. 11,8 trilyun. Jika produk daging, susu, dan buah-buahan kita masukan angkanya jauh lebih besar. Dimana-mana hampir rak-rak dari pusat-pusat perdagangan di kota-kota dipenuhi dan dijejali produk-produk pangan impor.
Imperialis pertanian untuk merebut pasar pangan di Indonesia juga menyusupkan kepentingannya dalam bentuk “bantuan pangan”. Bantuan pangan merupakan satu bentuk masuknya beras internasional ke Indonesia, dalam bentuk hibah maupun kredit. Indonesia merupakan penerima bantuan pangan terbesar dunia, yakni menerima 1.143.000 ton pada tahun 1998, 522.000 ton pada tahun 1999, dan 554.000 ton pada tahun 2000. Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan tiga penyumbang bantuan pangan terbesar Indonesia. Bentuk bantuan terbesar adalah gandum, diikuti terigu, dan beras.
Tekanan dan dampak dari kebijakan liberalisasi kebijakan industri pendukung dan penopang sektor pertanian, serta kebijakan liberalisasi perdagangan pangan mengakibatkan:

3. Produktifitas pertanian yang rendah.

Penurunan areal luas panen padi - Jika pada tahun 1999 luas areal panen 11.963 ribu hektar, maka tahun 2000 turun menjadi 11.793 ribu hektar dan tahun 2001 menjadi 11.415 ribu hektar. Penurunan ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya harga jual gabah dibanding biaya produksi yang meningkat, yang terjadi selama kurun waktu itu, juga oleh konversi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian karena rendahnya nilai tambah pertanian padi.
Krisis ekonomi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan produksi beras menurun sebesar -3,9%, kemudian menurun lebih besar yakni –4,9% pada tahun 1998. Pada tahun 1999 dan 2000 produksi beras meningkat masing-masing 1,8% dan 3,9%, namun pada tahun 2001 menurun lagi sebesar –3,4%.
Liberalisasi perdagangan mempunyai konsekwensi besar bagi Indonesia, terutama terhadap sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti pangan dan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok bagi 210 juta penduduk Indonesia, dan menyerap 49,7 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 44,62 juta angkatan kerja pada tahun 2002 (BPS, 2003). Dengan demikian pertanian memiliki dimensi yang sangat luas diantaranya ketahanan pangan, penyerapan lapangan kerja, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan
Menjadi jelas pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan, pihak yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan kepentingannya, pihak yang menjadi musuh kaum tani dan pihak yang menjadi sekutu kaun tani dari kebijakan liberalisai sektor pertanian ini. Pihak yang diuntungkan adalah imperialis pertanian dan pangan dari utara (teruama AS, Kanada, Eropa, Australia), belakangan juga Cina, juga elit penguasa seperti Pemeirntahan SBY-Kalla dan kapitalis dalam negeri yang menjadi kroninya dan berperan sebagai pedagang perantara. Sedang pihak yang dirugikan adalah kaum tani dalam hal liberalisasi sektor pertanian, dan kaum buruh diperkotaan dan seluruh rakyat miskin dalam hal liberalisasi perdagangan secara umum yanga menjadi korban kebangkrutan industri dalam negeri. Era harga murah barang-barang hasil impor hanyalah sesaat saja, karena seiring dengan itu daya beli seluruh rakyat semakin merosot.

Menjadi jelas juga bahwa musuh pokok dari perjuangan kaum tani secara umum adalah kaum imperialis dan sistem imperialisme serta Pemerintahan SBY-Kalla yang bersedia menjadi kakitangan dari kepentingan kaum imperialis; dan sekutu perjuangan dari kaum tani adalah kaum buruh dan seluruh rakyat miskin yang menjadi korban dari politik dan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan kaum imperialis.


Ketidakadilan Dalam Sengketa Agraria

Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satau basis dari perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk kepentingan keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan, pembangunan pabrik-pabrik manufaktur (terutama tanah di pinggiran kota), proyek infrastruktur (jalan, bendungan/dam dsb), real estate, lapangan golf, dan pembukaan/perluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.
Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpacht/HGUnya habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas kembali, terutama paska Tragedi 65.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971 Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani sebagai korban langsung dari konflik tersebut.
Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industri-industri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf maka dapat dirubah kembali menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan?
Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan-perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan Negara (TNI/Polri) dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan TNI/Polri ini sangat menonjol.
Model kedua dari terjadinya konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto. Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.

Pemerintahan SBY-JK Memusuhi Perjuangan Kaum Tani.

Di dalam penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum imperialis dan kapitalis/imperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang menjadi bawahannya (militer, pengadilan, juga pemerintahan daerah)m juga institusi parlemen.
Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, TDL, kebangkrutan industri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU.
Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita hamper tiak pernah mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNI/Polri untuk menindas perjuangan kaum tani.

Sistem demokrasi dan struktur kekuasaan.

Situasi demokrasi telah berhasil direbut oleh rakyat sebagai hasil dari perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menumbangkan kediktatoran Orde Baru pada tahun 1998. Namun struktur kekuasaan dan produk kekuasaan tidak juga memberi manfaat dan menyelesaikan kepentingan yang menjadi tuntutan perjuangan dari kaum tani.
Keuntungan yang mampu diambil oleh kaum tani barulah memaanfaatkan situasi yang relative kebebasan jika dibandingkan dengan periode kediktatoran dengan membangun, mengrganisasikan dan membangkikan perjuangan kaum dimana-mana. Skala perlawanan dan pertumbuhan organisasi kaum tani juga telah demikian luas.
Namun demikian perkembangan kaum tani ini masih menghadapi persoalan-persoalan :

1. Secara ideologis isu keadilan dalam penyelesaian sengketa agrarian yang menjadi isu dominant dalam perjuangan kaum tani. Perjuangan melawan imperialis dan seluruh kepentingannya masih kurang menonjol. Walau gejala-gejalanya sudah mulai kelihatan misalnya pergolakan kaum tani yang memprotes kelangkaan dan mahalnya pupuk pada akhir tahun 1999, perlawanan petani tebu menolak gula impor, dan protes terhadap impot beras yang cukup ramai belakangan ini. Dalam perjuangan demokratik potensi dan energi perjuangan yang besar dari kaum tani juga belum terolah dengan baik. Misalnya saja sepanjang pertengahan tahun 1998 hingga akhir tahun 1999 ribuan desa di Jawa bergolak, dimana-mana kaum tani menggulingkan pemeirntahan desa bahkan bupati yang korup.
2. Secara politik gerakan kaum tani membiarkan ruang dan struktur kekuasaan diambil dan dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang memusuhi kepentingan kaum tani untuk mempersulit kehidupan dan menindas perjuangan kaum tani. Gerakan kaum tani kurang menggunakan seluruh ruang, peluang, dan institusi demokratik sebagai hasil dari perjuangan melawan kediktatoran untuk kepentingan perjuangan kaum tani dan rakyat miskin secara umum. Misalnya dalam momentum Pemilu atau Pilkada. Sehingga isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh kaum tani tidak mewarnai dari setiap watak konflik yang muncul dari kekuasaan. Sehingga dalam kepentingan ini lapangan politik front persatuan untuk melawan imperialis dan menyelesaiakan problem agraria juga kurang dimanfaatkan dengan baik oleh gerakan kaum tani.
3. Secara organisasi gerakan kaum tani telah mencapai perkembangan yang baik misalnya tumbuh suburnya berbagai organisasi petani baik yang berskala nasional, apalagi di lokal-lokal propinsi dan kota-kota. Tantangan organisasional dari gerakan kaum tani adalah bagaimana mengkonsolidasikan potensi-potensi ini sehingga mampu keluar dari keterbatasan isu yang menjadi karakter dari banyak organisasi petani misalnya hanya membatasi perjuangan pada isu-isu tertentu saja, juga keterbatasan karakter lokal dari organisasi dan tuntutan yang diperjuangan kaum tani. Persoalan ini juga menjadi persoalan umum yang dihadapi oleh gerakan rakyat di sektor-sektor lainnya.
Konsolidasi dari gerakan dan organisasi massa kaum tani penting untuk menjawab perssoalan-persoalan diatas. Karena pada hakekatnya perjuangan melawan imperiliasme adalah tugas nasional dari mayoritas rakyat Indonesia untuk dapat keluar dari krisis ekonomi dan keterbelakangan tenaga produktifnya. Penyelesaian sengketa agraria yang menjadi kepentingan kaum tani akan mengalami kesulitan ketika persoalan ini tidak menjadi persoalan dan karakter umum dari gerakan rakyat.

Tidak ada komentar: