Kamis, 13 November 2008

Dari Budaya Perlawanan Sampai pada Budaya Pembebasan: Lalu?

Sumbangan : A. J. Susmana*

Sebetulnya apa yang saya katakan dalam 10 tahun ini sudah sering saya katakan secara lisan. Sekarang saya sampaikan lagi secara lisan. Pertamakali tentang negara kita adalah negara maritim terdiri dari belasan ribu pulau tetapi mengapa diduduki oleh Angkatan Darat. Dari bupati kadang-kadang sampai kepala desa. Mengapa ini bisa terjadi . Ini adalah kesalahan historis. Kesalahan lain dengan kekeliruan. Kesalahan berasal dari sudah dari otak, kalau keliru itu adalah salah dalam pelaksanaan teknis. (Pidato Pramoedya Ananta Toer pada peluncuran ulang Media Kerja Budaya,14 Juli 1999 di Aula Perpustakaan Nasional. sumber: Jaringan Kerja Budaya)
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam.
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
(Prajurit Jaga Malam-Chairil Anwar, 1948)

Sitnas ini berangkat dari perjalanan historis pemahaman dan praktek kerja Kebudayaan dan Kesenian di Nusantara dengan agak khusus Jawa. Karena itu dengan sangat minta maaf bila dari sudut di luar Jawa akan kurang disebut. Kawan-kawan dari luar Jawa sendirilah yang harus aktif mengemukakannya. Dengan demikian dapat kita identifikasi dan bangun kebudayaan dan kesenian Rakyat Indonesia. Hanya yang perlu dicatat: kebudayaan yang sedang berjalan sekarang ini adalah hasil dari Gerakan Rakyat yang berhasil memaksa mundur Diktator Soeharto dan membuka Ruang Demokrasi. Di atas basis inilah politik kebudayaan isi dan bentuk kebudayaan dan kesenian Indonesia sekarang ini sedang disusun. Sementara itu bisa dilihat spectrum kerja kebudayaan dan kesenian yang berkembang secara dialektis. Dari Mental colonial, Mental hamba…sampai pada mental Revolusioner membebaskan.
***
Sejak jaman sebelum kemerdekaan, para seniman selalu melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan. Dari aksi coret-coret di tembok menuntut kemerdekaan, sampai ikut pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Sebut saja seniman-seniman seperti Sujojono, Affandi, Basuki Resobowo, Cak Durasim, Chairil Anwar, dll. Mereka ini dengan penuh semangat, terlibat secara aktif dalam perjuangan. Para seniman itu, selain terlibat dalam perjuangan, juga membuat wadah-wadah, membangun persatuan-persatuan dengan berbagai kelompok, baik untuk merebut maupun mempertahankan kemerdekaan. Semua bersatu: berteriak “Merdeka atau Mati”, demi tanah air Indonesia yang merdeka. Rivai Apin, misalnya, penyair yang dikenal tak banyak omong ini pun terlibat dalam kerja “pengobaran semangat revolusi di Sumatera yang waktu itu juga sudah bergolak di berbagai tempat” . Namun dalam perjalanan ke Lampung terhambat oleh gelombang laut yang cukup besar sehingga jangkar yang dilepaskan putus. Dari pengalaman itulah,rupanya, lahir sajak Rivai Apin yang berjudul “Jangkar Putus”. (baca: A. Umar Said, Perjalanan Hidup Saya, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta; 2004)
Namun, jauh sebelumnya juga dikenal dan popular (baca: merakyat) jaman Kesovyetan.. Rakyat Jawa sendiri sudah menanyakan kapan jaman kasopetan itu datang. Dengan pertanyaan ini dengan demikian habislah mithos jaman bikinan Ronggowarsito salah satu peramal unggul di Tanah Jawa selain tentu saja Jayabaya: Raja Termasyur Kerajaan Kediri; yang didongengkan sebagai pembunuh Kera Putih Anoman; Kera Sakti, Suci dan Mulia; kepercayaan Rama dalam Kitab Ramayana karya Walmiki. Jayabaya dan Ronggowarsito pun popular di jaman pra Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi politik 1945, menghasilkan revolusi struktur puisi dengan membebaskan puisi dari belenggu rima yang dipelopori penyair Chairil Anwar. Melalui puisi, Chairil pun mengobarkan semangat pembrontakan: Aku, Diponegoro, Persetujuan dengan Bung Karno, Krawang Bekasi, Prajurit Jaga Malam…
Setelah kemerdekaan, begitu pimpinan-pimpinan revolusinya—Soekarno, Hatta—tidak serevolusioner Rakyat, kalangan seniman maju mulai resah. Apalagi, akibat dari perundingan yang satu dengan yang lain, wilayah Indonesia semakin menyempit karena harus diserahkan kepada Belanda. Ditambah lagi, tentara Belanda yang melakukan agresi militer I dan II. Semua ini, dirasakan oleh kalangan seniman, bahwa revolusi masih terus terancam. Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan: "Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Berawal dari sini, kemudian lahirlah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), pada tanggal 17 Agustus 1950.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
Sendiri, Berkelompok, Melawan OrBa
Setelah OrBa berkuasa, seni Rakyat dijadikan musuh. Bagi OrBa, semuanya harus satu, begitu juga dengan kebudayaanya. Siapa saja, yang berani berbeda dengan OrBa harus ditumpas. Kekuasaan berdiri dengan terus ditopang darah rakyatnya, pemenjaraan dan pengawasan kehidupan Rakyat. Berbagai kegiatan mulai dari penerbitan, diskusi, jualan buku, teater, baca puisi kalau tak bersesuaian dengan selera Orde Baru dilarang. Pramoedya Ananta Toer, Nano Riantiarno, WS Rendra, Ratna Sarumpaet adalah seniman-seniman yang sering dicekal Orba. Orde Baru secara tegas mengambil garis kebudayaan yang militeristik, kapitalistik dan terus-menerus menimang feodalisme (baca juga: konservatisme). Golput yang dipelopori angkatan 70-an pun meluas. Di bidang tari, pada tahun 1976, Fari menciptakan tari Putih-putih yang sempat dihentikan pertunjukannya. Lantas dua tahun kemudian, ia ciptakan Putih Lagi. Tujuh belas tahun berikutnya, ia menciptakan, Putih Kembali (1995) (baca: Sal Murgiyanto, Kritik Tari, Bekal dan Kemampuan Dasar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta, 2002;56) Arif Budiman pun mengembangkan seni kontekstual…sebagai seni yang terlibat dengan persoalan-persoalan rakyat.
Jadi tampak, perlawanan para pekerja budaya dan seni dari rentang waktu Orde Baru berkuasa mengalami pasang surut. Praktis belum ada organisasi seni dan budaya yang sanggup melawan hegemoni kebudayaan yang dikembangkan Orde Baru. Para seniman masih bergerak sendiri-sendiri atau terbatas pada kelompoknya. Belum ada jaringan kerja kebudayaan anti Orde Baru yang luas, yang mempunyai program, startegi-taktik untuk melawan OrBa. Memang masih ada kelompok, individu-individu, yang berusaha berdiri teguh melawan Orde Baru. Sebut saja Rendra dengan Bengkel Teaternya adalah roh baru dalam perlawanan terhadap Orde Baru yang makin represif dan kapitalistik. Pada masa ini lahirlah puisi-puisi pamflet Rendra. Di samping itu, masih dicatat juga karya-karya seniman eksil dan pulau Buru dengan Pram dan Hasta Mitra. Pram dan Hasta Mitra seakan menjadi daya dorong roh perlawanan di tahun 1980-an dengan berdirinya diskusi-diskusi mahasiswa cikal-bakal kaum radikal.
Baru tahun 1990-an awal, dengan basis dan group seni yang telah beredar di kampus dan kampung-kampung, berdirilah J A K E R (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat). Organisasi ini, merupakan sebuah jaringan kerja kesenian anti Orde Baru. Garis seni Jaker cukup tegas, yaitu: ilmiah, demokratis dan anti-feodal. Jaker pada masa ini adalah front kebudayaan melawan Orde Baru yang berbudaya militeristik, kapitalistik dan feodal. Sebagai sebuah jaringan, Jaker mempunyai cabang-cabang di beberapa kota. Kegiatannya, tidak hanya sebatas aktivitas budaya, tapi juga melakukan kerja-kerja pengorganisiran dan berusaha melanjutkan kerja integrasi antara pekerja seni dengan rakyat. Karenanya aktivis-aktivis Jaker pun mulai turun mengorganisisr petani, buruh, kaum miskin perkotaan dan terlibat dalam aksi-aksi dengan mahasiswa, buruh, tani, menentang kesewenang-senangan OrBa. Dapatkan dikatakan, Jakerlah yang menjadi tonggak terbentuknya Front persatuan kebudayaan semasa OrBa. Front yang lain dibangun dengan platform kebebasan berekspresi.
Di samping Jaker yang mulai tumbuh dan berkembang, jaringan aktivitas seniman kampus pun terus meluas: Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Salatiga yang bergerak dalam bendera forum penyair kampus. Jaringan para penyair ini pun menghasilkan antologi puisi beraroma perlawanan terhadap Orde Baru. (Baca: antologi puisi Cermin Masyarakat Membangun, Refleksi Akhir Tahun 29 Desember 1993). Seni instalasi karya seniman muda dari Jogjakarta, Hamzah, yang bernuansa provokatif terhadap penggulingan kekuasaan pun muncul di bawah judul: “Mendongkel Kursi Tua”—(Kompas, 30 Desember 1993). Di masa ini, diterbitkan antologi puisi Wiji Thukul: Mencari Tanah Lapang, dan slogan Hanya Satu Kata: Lawan! Menemukan tanahnya yang subur: radikalisasi. Bentuk-bentuk seni perlawanan pun berkembang: di samping parade dan pawai, juga street theatre: Happening Arts. Bentuk ini masih sering dipakai sampai sekarang.
Pembangunan kerja seni dan budaya di bawah OrBa ini terpaksa jatuh-bangun bersama dengan diberangusnya kebebasan berekspresi. Namun, Front Budaya anti Orde Baru semakin menemukan radikalisasi ketika Tempo, Editor, Detik dibreidel. Solidaritas yang meluas dari para seniman terhadap pembreidelan tiga media masa itu membuahkan aksi perlawanan di mana-mana. Di Jakarta, WS Rendra dan Bengkel Teater pun turun ke jalan; Semsaar Siahaan mengalami patah kaki ketika terjadi bentrokan dengan militer. Aksi ini kemudian diikuti dengan pernyataan untuk tidak menulis di majalah yang didirikan di atas bangkai Tempo, yakni Gatra.
Peristiwa kebudayaan lain yang cukup massal yaitu pro kontra penghargaan Ramon Magsaysay kepada Pram yang menjadi polemic berhari-hari. Ini menandakan kehendak untuk demokrasi tak lagi dapat dihalau dengan menggunakan ketakutan atas bangkitnya hantu komunis.
Jadi sebenarnya cukup jelas kecenderungan gerakan kebudayaan saat itu: anti terhadap segala penindasan kebebasan berekspresi yang selama Orde Baru ditindas: demokrasi versus anti demokrasi; rakyat versus anti rakyat. Inilah arah gerakan kebudayaan yang berbarengan dengan menguatnya gerakan pro demokrasi menggulingkan Diktator Soeharto. Setelah kediktatoran jatuh, berkembanglah konsep-konsep kebudayaan demokratis, kerakyatan, ilmiah, anti feudal, konservatisme, liberalisme, progresif dan revolusioner. Pun professional. Hingga munculah perkumpulan Jaringan Islam Liberal.
Di sastra menemukan perombakan nilai-nilai (liberal) pada Ayu Utami dengan Saman (1998) sebagai pembrontakan nilai-nilai yang dianut kediktatoran dan otorianisme Orde Baru. Di samping itu Di bawah Neoliberalisme yang coba dipaksakan sekarang ini oleh kekuatan Kapitalis Internasional berkembang pulalah budaya dan seni erotisme, eksotisme yang menemukan lahan yang luas dan siap dipanen dan sekaligus menuai konservatisme dan Humanisme di Indonesia. Ini antara lain juga akibat peluang yang lebih besar bagi Kepala Daerah untuk menentukan kebijakan di masing-masing daerah dan didorong oleh kebijakan pariwisata yang dikerjakan di tingkat kementrian sebagai bagian dari kerja seni dan budaya.
Ruang demokrasi yang sedikit terbuka ini telah mendorong seniman dan budayawan mencari muaranya sendiri. Para seniman yang muak dengan Orde Baru ini pasca kejatuhan Soeharto membangun dan mengembangkan group-group seni independen: teater, sanggar, kelompok-kelompok pekerja seni seperti Taring Padi, Serikat Pengamen Indonesia (SPI) atau mengkonsolidasikan ulang gerakan kebudayannya seperti JAKER yang mengubah diri menjadi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat dengan garis lebih tegas: di bawah panji budaya dan seni pembebasan menghancurkan feodalisme, militerisme dan kapitalisme. Front budaya yang lebih luas pun walau cair diusahakan dalam bentuk Karnaval Seni Anti Militerisme di Jakarta. Film-film yang mengangkat soal HAM, demokrasi, korupsi dalam bentuk documenter pun mulai semarak: bisa disebut Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI), salah satunya. Festival-festival film independent pun bermunculan: seperti Jiffest.
Di samping itu ada juga seniman, budayawan, yang melirik partai politik peserta pemilu 1999. Gunawan Mohammad bersama Toeti Herati pada mulanya aktif dalam MARA (Majelis Amanat Rakyat), sebelum jadi PAN. Barisan seniman PAN ini pun bertambah dengan Ikranagara, seniman asal Singaraja, Bali, yang menjabat Ketua Departemen Kebudayaan Partai Amanat Nasional (PAN), juga Wanda Hamidah, model dan artis sinetron. Pramoedya Ananta Toer segera mendaftarkan diri menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) begitu KEPAL PRD dideklarasikan. Diapun berseru Demokratik dan Modern sebagai budaya yang lama dibangun dan dicita-cita kaum pergerakan karenanya tak salah langkah PRD. Menjelang Pemilu 1999, Pram pun dilantik dan menyatakan: angkatan mudalah yang kini harus memimpin. Di tempat lain Pram menyatakan:
Dalam politik paternalisme kolonial perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme. Produk perkawinan itu begitu mendalamnya menghancurkan golongan menengah pribumi. Produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme, adalah satu kelas khusus dalam masyarakat kelas ini pada zamannya dinamai priyayi. Priyayi ini yang melahirkan kemudian birokrasi kolonial. Karena sudah asal-usulnya demikian maka kita bisa menduga mentalnya demikian. Politik paternalisme ini merasuk dalam-dalam kehidupan, sehingga orang memanggil satu-samalain itu bapak atau saudara, padahal itu panggilan, sapaan yang hipokrit. Tidak ada hubungan apa-apa. Mengapa mesti memanggil bapak, memangnya sudah kawin sama dengan ibunya. Untuk menggunting putus partenalisme itu, Bung Karno pernah menciptakan kata sapaan Bung. Dengan kata Bung orang yang dihadapi dianggap mandiri. Jadi sebaliknya kita menilai kembali penemuan Bung Karno, karena dengan sapaan itu orang dianggap mandiri. Pada waktu di Buru saya pernah dipanggil oleh Sersan Karo-Karo, ia berkata "bapak sudah tua, sudah saya anggap orang tua sendiri, lalu bak-buk saya dipukul." Saya ikut jengkel dengan persoalan paternalistik ini, karena sudah ikut mengalami pahitnya. Jadi, tadi saya sudah katakan Jawa sentrisme, VOC, kemudian Hindia Belanda juga mengirim pembunuh-pembunuhnya dari Jawa ke luar Jawa untuk mendudukkan luar Jawa, dan dari luar Jawa mengambil kekayaan ke Jawa. Pola ini berlangsung sampai sekarang. Itu sebabnya Bung Karno pernah berencana memindahkan Ibukota ke Palangkaraya. Tapi sebelum bisa melaksanakan muncullah yang namanya Harto
Itu sebabnya pada angkatan muda Saya serukan supaya siap-siap memasuki millenium ketiga dan mengubah kehidupan dan hubungan luar-negeri lebih manusiawi, buka seperti sekarang. Itu tugas angkatan muda sekarang, jangan pura-pura goblok. Karena demokrasi di Indonesia kalau bisa meraih kedaulatan manusia, kedaulatan pribadi. Karena kita ini masih hidup dalam budaya panutan. Budaya panutan itu biar satu orang yang berfikir yang lain ikut saja. Jadi belum dimulai budaya individual, masih budaya kelompok. Soekarno pernah mengatakan "setiap kemajuan diraih bukan oleh kelompok tetapi oleh individu" itu Soekarno yang mengatakan.
Dan sebagai contoh budaya panutan ini, kita mengenal Suwardi Soerjaningrat mengubah namanya Ki Hadjar Dewantara, bukan maksudnya merendahkan beliau, tetapi memproklamasikan diri pendeta perantara para dewa. Ini adalah budaya panutan. Jadi dia memproklamasikan diri untuk dianut oleh orang lain. Tetapi jeleknya budaya panutan kalau dalam keadaan kritis sang panutan hanya menjawab yang mengikuti yang menanggung. Itu jeleknya. Jadi ini supaya ditumbuhkan budaya individu, bukan budaya panutan, saya kira cukup jelas toh. Dan sekarang dalam kehidupan kita ini pertentangan Timur-Barat sudah tidak ada yang ada sekarang adalah Utara-Selatan. Ini saya minta menjadi pikiran, dan dicarikan jalan keluar, supaya hubungan Utara-Selatan lebih manusiawi, bukan seperti sekarang ini
Lalu Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto dalam sinetron seri Losmen yang popular di tahun 1990-an jadi Ketua Departemen Seni & Budaya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penyanyi Pop, Kroncong dan Langgam Hetty Koes Endang masuk Partai kebangkitan Bangsa (PKB).
Di luar itu masih ada seniman-seniman yang melawan Orde Baru tapi enggan berpartai seperti Rendra, Nano, Hari Roesly (meninggal 2005?) maupun Ratna Sarumpaet yang sekarang jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Ratna Sarumpaet sendiri tak segan turun ke jalan dan mengkoordinir komite politik seperti Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati (SIAGA) dalam rangka melawan calon tunggal presiden Republik Indonesia: Jendral Soeharto menjelang Sidang Umum MPR tahun 1998.
Mei 2001, ketika jalannya reformasi total seperti semakin menemui jalan buntu, tanpa ada jalan keluar, beberapa seniman dan pekerja pers pun aktif berkampanye menghancurkan sisa-sisa Orde Baru dan reformis gadungan yang bangkit lagi. Seniman-seniman seperti Franky Sahilatua, Dortje, Rieke Dyah Pitaloka bergabung dalam Front Lindas Orba (Koalisi Nasional Anti Orde Baru) dan dengan tegas menyerukan: “Bersekutu dengan Golkar = Musuh Rakyat”. Pembakaran instalasi seni Tisna Sanjaya di Bandung, hanyalah semakin menambah bukti mulai bangkitnya watak OrBa yang meberangus apa saja yang kritis: militerisme. Dengan begitu terlihat bahwa yang perlu kita hancurkan, tidak hanya sisa-sisa OrBa, tetapi juga partai-partai yang saat ini berkuasa, yang ternyata Reformis Gadungan. Kebangkitan mereka kian jelas. Sisa-sisa OrBa dan Reformis Gadungan tidak segan-segan untuk bersatu, bersekutu, agar bisa berkuasa setelah pemilu 2004. Sehingga menjadi kebutuhan: bagi kalangan budayawan/seniman untuk bersatu, bersama-sama kekuatan Rakyat lainya, menghancurkan sisa-sisa OrBa dan reformis gadungan. Perkembangan politik yang berjalan menunjukkan, beberapa seniman seperti Franky Sahilatua, Harry Roesly, terlibat dalam Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB). Ini sebuah langkah yang lebih tepat, tetapi usaha membangun Front Persatuan di kalangan seniman sendiri tak memberi hasil yang menggembirakan. Dengan begitu nyaris, sejak dihancurkanya Lekra dan Jaker, tidak ada organisasi seniman yang berwatak progresif, yang memiliki jaringan yang luas. Kalaupun ada—dan inipun masih sebatas organisasi profesi semata—adalah organisasi untuk satu profesi saja, misal organisasi yang khusus untuk bintang film dan sinetron, organisi khusus untuk penyanyi dangdut, dll. Belum ada, organisasi seniman, yang menampung segala macam profesi seniman—apalagi yang mempunyai program-program yang maju. Sementara organisasi-organisasi seniman profesi ini kebanyakan masih “menyusu” pada kekuasaan lama.
***
Di bawah neoliberalisme jelas rakyat makin sengsara. Jaminan kesejahteraannya semakin dikurangi. Beberapa usul yang muncul adalah Pengurangan Beban Anggaran untuk pembayaran utang, Industrialisasi nasional, Pemberantasan korupsi…Kondisi di bawah neoliberalisme ini tentu juga mengancam kehidupan para pekerja seni yang menggantungkan hidupnya dengan cara berkesenian serta mereka yang terkait dengan kehidupan seni. Sebagai contoh: dengan mengambil momentum Pilkada 2005 di Depok, Rendra pun menuntut agar kehidupan Seni dan Kebudayaan diberi tempat yang layak. Ia pun mendatangi calon wali kota Depok Nur Mahmudi bersama beberapa seniman yang tinggal di Depok pada Kampanye hari kedua pemilihan kepala daerah di Kota Depok. Kepada Nur Mahmudi, para seniman itu berharap apabila Nur Mahmudi menjadi Wali Kota Depok, jangan lupa mendirikan gedung kesenian untuk Depok. Alasan yang mengemuka adalah seperti yang dikatakan Adi Kurdi: "Seniman Depok itu banyak. Mereka kesulitan mengekspresikan karya-karyanya karena tidak ada tempat di Depok. Kalau harus tampil di Taman Ismail Marzuki, sewa satu malamnya saja Rp 5 juta. Itu berat untuk seniman-seniman lokal. Padahal, untuk meningkatkan kualitas, harus sering melakukan pertunjukan. Warga Depok juga perlu tahu bahwa mereka punya seniman berkualitas." Atas Kunjungan para seniman Depok itu Nur Mahmudi pun mencatat apa yang menjadi harapan para seniman tersebut dan berjanji mempertimbangkannya jika terpilih menjadi wali kota mendatang sedang Rendra sendiri berjanji akan membantu Nur Mahmudi untuk merealisasikan janjinya itu dan menyatakan: "Kami tidak minta apa-apa kepada beliau atau Pemerintah Kota Depok nantinya. Tetapi kalau beliau jadi wali kota dan perlu bantuan, kami dan Teater Bengkel siap membantu," (Kompas,13 Juni 2005)
Apa yang menjadi tuntutan dan tindakan Rendra dan para seniman Depok tentu pantas didukung bahkan seharusnya juga menjadi tuntutan dan tindakan para pekerja seni dan budaya di berbagai kota yang belum ada Gedung Keseniannya. Alasannya pun bisa sama seperti yang disampaikan Adi Kurdi. Hanya yang perlu ditambahkan di sini adalah jangan sampai Gedung Kesenian yang dibangun oleh Pemda atau Pemkot menjadi bumerang bagi para seniman. Karenanya tuntutan Rendra dan para seniman untuk keberadaan Gedung Kesenian haruslah diletakkan dalam kerangka luas mewujudkan Pemerintahan Persatuan Rakyat, yang antara lain berkharakter bersih, kerakyatan, demokratik, ilmiah, modern. yakni pemerintahan yang bersih dari korupsi dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja…Singkatnya, pendirian gedung kesenian itu bukan karena hasil korupsi, kolusi atau nepotisme bahkan sebisa mungkin hasil dari penyitaan harta kaum koruptor.
Dengan begitu pendirian Gedung Kesenian sebisa mungkin melibatkan partisipasi rakyat luas dan bukan sekedar keinginan subyektif para seniman. Kalau ini yang terjadi, gedung kesenian yang dibangun sebenarnya hanyalah “Taman Kumbakarnan” untuk meninabobokan seniman sebagaimana disampaikan dengan gaya sindiran dalam Politik Cinta Dasamuka, produksi Teater Koma. Sebagai catatan: Kumbakarna adalah tokoh Ksatria Alengka, yang juga adik Dasamuka yang dikenal suka tidur dan bahkan sanggup tidur 1000 tahun tanpa peduli pada situasi politik yang berkembang. Ia baru bangun dari tidur ketika negerinya sudah porak-poranda.
Jadi, tanpa dukungan masyarakat, Gedung Kesenian yang berdiri, bisa saja justru kontraproduktif seperti letaknya yang jauh dari jangkauan rakyat kebanyakan atau tanah gedung kesenian yang didirikan bermasalah dengan masyarakat sehingga masyarakat justru antipati dengan gedung kesenian tersebut. Tak akan ada yang menyangkal betapa pentingnya gedung kesenian tersebut untuk tiap-tiap kota di Indonesia bahkan kalau perlu juga didirikan sampai tingkat desa dan kelurahan. Di desa atau kelurahan ini bisa dalam bentuk balai-balai kesenian atau kebudayaan. Dengan keberadaan balai-balai seni dan budaya tentu akan mendorong dan mengembalikan semangat berkesenian di masyarakat melalui sanggar-sanggar seni atau komunitas-komunitas seni yang pernah tumbuh menjamur di Indonesia. Kalau perlu, dicanangkan slogan: satu Balai Kesenian untuk tiap satu desa atau kelurahan. Keberadaan Balai Seni di tiap desa dan kelurahan tentu akan membantu pertumbuhan jiwa demokratik dan ilmiah masyarakat pedesaan atau kelurahan. Dengan demikian tetap menjaga dan menumbuh-kembangkan bunga demokrasi yang sedang mekar. Rakyat yang terlatih berekspresi dimungkinkan juga sanggup melawan represifitas pemikiran yang mungkin ada. Kerja ini tentu tak gampang. Inilah kerja kebudayaan dan seni untuk menjelaskan realitas yang ada sebagaimana jelas bagi kita bahwa pemberantasan korupsi sendiri sebenarnya adalah juga kerja besar kebudayaan untuk melawan budaya korupsi yang telah mengakar.
Akibat kesengsaraan dan kemiskinan yang terus meluas, kualitas berkesenian pun turut mengalami kemerosotan nilai estetika seni. Ini mewujud dalam kesenian yang dianggap dekaden, jauh dari realitas (mistifikasi) dan semakin eksklusif (jauh dari rakyat). Di tengah-tengah ini Pornografi atau pornoaksi sebagai seni menjadi perdebatan. Naiklah ke permukaan, seni atas dasar syariat Islam. Rhoma Irama, Raja dangdut ini, menegaskan pornografi dan pornoaksi merupakan satu tindakan penghinaan atas kekuasaan Tuhan.

"Tubuh telanjang memang seni, tapi jangan lupa kalau tubuh ini milik Tuhan. Jadi seni itu berasal dari Tuhan, karenanya kita harus menjaga tubuh ini dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan Tuhan," jelas Rhoma sambil menegaskan bahwa di dalam kitab suci Alquran sudah tersurat makna dan aturan-aturan soal pornografi dan pornoaksi seperti dalam surat An-Nur (ayat 30) dan Al-Ahzab (ayat 58).

Sementara itu, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Sakhyan Asmara mengungkapkan bahwa perbincangan RUU Antipornografi dan Pornoaksi sebaiknya tidak usah emosional, sehingga betul-betul dapat dilihat aspek manfaat dan mudaratnya (bahayanya). Apalagi terbukti di depan mata kasus pornografi dan pornoaksi telah menggurita sejak euforia kebebasan melanda bangsa ini.

"Lebih jauh, saya menyarankan agar pembahasan tidak lagi berkutat pada perlu atau tidaknya undang-undang itu, tetapi pada bagaimana bunyi kata dan makna dalam draf RUU ini bisa tegas, agar tidak ambivalen atau malah tidak jelas," jelas Sakhyan.

Sakhyan juga menambahkan agar dalam RUU APdP tidak ada kata 'pengecualian' untuk bidang seni, sebab kata 'pengecualian' di situ hanya akan membuat kerancuan. Sebab bukan tak mungkin masyarakat akan terus dibingungkan dengan wacana yang tak pernah ada habis-habisnya.

"Jalan keluar mengenai hubungan seni dan pornografi hanya akan ditemukan sejauh mana kita bisa mempertegas pengertian apa itu seni dan apa itu pornografi," tegas Sakhyan. Sedangkan menyangkut kebebasan kreativitas seniman yang akan terganggu dengan UU Antipornografi dan Pornoaksi itu, Sakhyan meyakinkan tak akan ada prasangka itu, sejauh seniman memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaan moralitas generasi bangsa agar tidak jatuh ke vandalisme. (CS/H-2).”

Walau begitu polisi kini sudah berani melakukan aksi sweeping tabloid yang dianggap porno seperti Tabloid Dugem, Exotica… berdasarkan KUHP. Langkah-langkah ini tentu akibat dari tekanan Konservatisme yang menyeruak di panggung politik akibat serangan liberalisme. Akar dari konservatisme tentu saja adalah Patriarkhi, feodalisme. Akar dari liberalisme tentu saja neoliberalisme yang mengambil di sini hanya keuntungannya saja, termasuk dalam soal seksualitas.
Perlawanan pun muncul. RUU Pornografi dianggap memasung Kreativitas Seniman. Media Indonesia mencatat: Kalangan seniman dan budayawan menilai RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang tengah dibahas Komisi VIII DPR dapat memasung kebebasan kreativitas berkesenian. Oleh karena itu, mereka menolak RUU tersebut disahkan.

Demikian sikap dan pandangan yang muncul dalam acara Diskusi Meja Bundar tentang RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang dilaksanakan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin. Hadir dalam acara itu WS Rendra, Putu Wijaya, Mudji Sutrisno, Sardono W Kusuma, Edi Sedyawati, Rosihan Anwar, Ratna Sarumpaet, Gadis Arivia, Maman S Mahayana, Wicaksono Adi, Hudan Hidayat, serta sejumlah seniman dan budayawan lainnya.

Penyair WS Rendra menilai dasar filosofis RUU tersebut mengarah ke upaya melemahkan daya moralitas organik yang ada pada setiap individu.

"Kita bukan mesin yang digerakkan dengan unsur-unsur mekanik. RUU ini hanya berisikan larangan-larangan," tegasnya.

Rohaniwan Mudji Sutrisno menambahkan, moralitas berkesenian semestinya diserahkan kepada moralitas senimannya sendiri.''Bila perbincangan sudah mengarah ke moralitas, semestinya hukum harus berhenti. Sebab, setiap orang akan mempertanggungjawabkan moralitasnya pada Tuhan.''

Begitu pun dengan dramawan Putu Wijaya yang bersikap tegas menolak RUU ini.

Sementara itu, antropolog dan mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati menemukan banyak sekali kekeliruan dalam teks RUU ini, khususnya tentang makna dan pendekatan pornografi dan pornoaksi, sehingga butuh studi lagi untuk memperbaiki teks RUU tersebut.

Senada dengan Edi, sastrawan Hudan Hidayat dan Maman S Mahayana menyatakan agar dilakukan perombakan total dari substansi RUU ini. Sebab, jika substansi ini dipertahankan, masyarakat pun akan ikut diresahkan dengan undang-undang yang tidak jelas. "Pasal 4 sampai 36 dalam RUU, hanya berisikan larangan-larangan yang sangat tidak produktif. Ditambah RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini belum mengacu kepada bahasa Indonesia yang benar," ujar Maman.

Dalam menanggapi evaluasi RUU ini, kritikus seni Wicaksono Adi menyarankan agar pihak parlemen segera berkomunikasi dengan kelompok-kelompok seniman dan budayawan, juga kelompok media massa, agar muncul satu pengertian yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta Ratna Sarumpaet menyarankan agar pengesahan RUU ini ditunda dahulu sampai ada temu pendapat antara kelompok DPR dan kalangan seniman.

Ketua Panitia Khusus Antipornografi dan Pornoaksi DPR RI Balqan Kaplale ketika dihubungi Media, kemarin, menjelaskan pihaknya akan menerima pandangan-pandangan berbeda dari kalangan seniman. Oleh karena itu, dalam waktu dekat akan segera memfasilitasi temu pendapat dengan kelompok-kelompok seniman itu.

"Insya Allah, tanggal 18 dan 22 Januari ini kita akan membuka pintu bagi kelompok-kelompok yang berkeberatan dengan RUU ini. Toh, peluang untuk perombakan masih terbuka lebar," ujar Balqan. (CS/Eae/H-3).
Ancaman militerisme justru tampak surut walau TNI enggan melepaskan kekuasaan territorial dan bisnisnya Tuntutan dan dukungan agar TNI tidak berpolitik cukup tinggi walau pengadilan para pelanggar HAM belum menyentuh Para Jendral. Gugatan-gugatan terhadap pelanggar HAM Orde Baru pun terus meluas. Misalnya: Pagelaran Seni Budaya Karya Mereka yang Dibungkam 22 sd. 26 Februari 2006 di Jakarta. Pameran ini antara lain diikuti lukisan dari 15 orang pelukis (Adrianus Gumelar, Amrus Natalsya, Augustin Sibarani, Hardjija Pudjanadi, Haryogyo, IB Said, Isa Hasanda, Misbach Tamrin, Permadi Liosta, Puranto Yapung, Sudiyono SP, Sri Hartono, Tariganu, Widjojo Kusumo, Gebar Sasmita) dan pameran buku sejumlah sastrawan dan penulis (yang telah terbit) dan naskah (belum terbit) karya mereka yang dibungkam. Di kalangan perempuan berkembang pula isu ”politik tubuh perempuan” ….Misal: Pentas Tari "Bedoyo Silikon" di Kolam Renang, (kompas 22 Feb 2006) oleh koreografer Fitri Setyaningsih.
Di Indonesia, walaupun emansipasi perempuan dan kesetaraan hak diakui, keberadaan perempuan di ruang dan waktu tertentu masih dianggap mengganggu moralitas masyarakat, termasuk oleh kaum perempuan sendiri. Dengan begitu dianggap juga sebagai ancaman bagi tegaknya bangunan Negara. Karenanya Pemerintah pun perlu dibebani tugas mengatur tubuh perempuan dalam ruang dan waktu tertentu dan menjaminnya agar tak menghancurkan bangunan Negara. Inilah kegelisahan dari sebagian masyarakat atas merebaknya “pornografi dan pornoaksi”. Di sini, tubuh perempuan menjadi wilayah politik yang diperdebatkan. Untuk ini respon gerakan perempuan pun tak berwajah tunggal. Pro-kontra di antara kaum perempuan sendiri terjadi: tubuh perempuan siapakah yang berhak menentukan? aku, sang perempuan sendiri? Atau orang lain?
Wajah ganda perempuan ini telah lama beredar di masyarakat. Dalam masyarakat sendiri sudah beredar watak-watak ganda baik dan buruk dari kaum perempuan. Kita kenal dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih yang sekarang juga ditayangkan dalam bentuk sinetron. Pertentangan dua wajah ini hanya berakhir dengan kehadiran lelaki. Pilihannya pun tak jatuh pada moralitas Bawang Merah yang agresif, menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya tapi justru pada moralitas Bawang Putih yang suka mengalah, jujur, tak melawan dan dianggap baik budinya itu. Cerita yang lain yang plotnya sama misalnya cerita Andhe-Andhe Lumut yang populer (baca: merakyat) karena disampaikan dalam bentuk lagu juga. Andhe-Andhe Lumut mengakhiri pertengkaran di kalangan perempuan dengan menerima lamaran Kleting Kuning. Lagi-lagi perempuan yang pintar bekerja dalam urusan rumah tangga, suka mengalah dan jujur dan halus pekertinya itu.

Itulah norma masyarakat yang berlaku. Pandangan inipun sudah ditegaskan oleh Aristoteles:"Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang berkualitas…kita harus memandang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ketidaksempurnaan alam." (Baca: Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, Cetakan pertama, Januari 2003, Pustaka Promethea, Surabaya;ix) Karenanya kehadiran lelaki menentukan dan memimpin moralitas yang dianut.adalah keharusan. Inilah yang disebut Patriarkhi.

Di tengah pandangan-pandangan tersebut, tak heran bila dalam sosok perempuan kita selalu menemukan sifat-sifat yang ekstrem seperti istilah Orde Baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Perempuan bisa muncul dengan watak yang sejahat-jahatnya manusia di dunia dan juga sebaik-baiknya manusia di dunia dalam ruang dan waktu yang sama. Selain Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita lain misalnya, Sarpakenaka dan Dewi Sinta dalam cerita Ramayana. Dalam bentuk lain: Calon Arang yang kesaktian dan kejahatannya hanya bisa ditumpas oleh Empu Barada. Ada pula cerita-cerita lain yang berangkat dari khasanah sastra Melayu seperti yang dicatat Denys Lombard yaitu Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan dan Syair Yatim Nestapa. Tiga syair ini semuanya mengisahkan pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan dari seorang wanita malang yang kena balas dendam seorang wanita saingannya yang iri dan kejam.

Untuk ini Denys Lombard menyatakan: “Jika tokoh-tokoh cerita itu dibandingkan dengan tokoh-tokoh pria dari cerita lain, kontrasnya sangat menonjol; tokoh-tokoh wanita yang ditampilkan bukanlah tokoh-tokoh yang patut diteladani, tetapi tokoh-tokoh yang sesungguhnya menakutkan. Walaupun dalam ketiga syair itu, wanita memegang peran utama, namun peran itu hampir tidak menguntungkannya. Mau tidak mau pembaca bingung menghadapi sifat ganda yang jadi atribut wanita itu, yaitu wanita sebagai orang jahat atau orang sengsara. Semua klise yang akan tampil kembali dalam novel dan cerpen modern sudah terdapat di situ. (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka, Jakarta, Cetakan III Maret 2005; 203)
Wajah ganda itu pun meluas dalam gerakan perempuan di Indonesia saat ini. Pertama, mengemuka dalam pro kontra RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan kedua pada Gerakan Kembali ke Rumah bagi ibu sebagai seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seruan ini sudah ditanggapi dan dipertanyakan Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? sementara kesulitan ekonomi selalu menghantui. (baca: Santi Indra Astuti, Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? Kompas, 11 Februari 2006) Nampaknya situasi ini tak akan pernah dapat dihilangkan. Hampir semua isu yang menyangkut perempuan di Indonesia selalu akan menampilkan wajah ganda. Situasi ini dimungkinkan sebab isu perempuan bergerak berbarengan dengan isu demokratisasi di segala bidang. Akibatnya terpaksa berhadapan dengan konservatisme. Konservatisme inilah benteng penaklukan cultural Orde Baru terhadap perempuan. Konservatisme ini sudah dilawan dalam tradisi sastra bacaan liar seperti Mas Marcokartodikromo (baca: student Hijo, Mata Gelap). Pun karya-karya Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu…. Dalam situasi inilah lapangan kerja kebudayan dan kesenian kita sekarang berada.
***

*Penulis adalah Anggota Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER)

Tidak ada komentar: